Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial

Pendahuluan
Tulisan ini didasari oleh tiga pengandaian. Pertama, perlawanan petani – upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan mereka atas sebidang tanah–merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria (tanah) merupakan gejala dan/atau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui dan/atau merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini sebagai miliknya.[1] Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria,
maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria.[2]

Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial[3], karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi – merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani untuk mewujudkan reforma agraria.[4] Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan reforma agraria bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Jika pengandaian dan kesimpulan hipotetis di atas kita gunakan sebagai “cetak biru” untuk mengkonfirmasi organisasi-organisasi gerakan sosial[5] yang mengklaim dirinya memperjuangkan reforma agraria, apakah sudah konsisten dengan logika pengandaian dan kesimpulan hipotesis di atas?

Kedudukan Petani dalam Penelitian Sosial
Perhatian kalangan ilmuwan sosial terhadap kaum petani (peasant), khususnya yang mencuat setelah Perang Dunia Kedua (era Perang Dingin) terutama didorong oleh peran mereka (petani) dalam gerakan sosial– pemberontakan dan revolusi.[6] Seperti dicatat oleh Clammer, “…proporsi terbesar populasi pedesaan di dunia (dan oleh karena itu populasi terbesar secara total) adalah “petani”, dan kelompok manusia yang luar biasa besarnya ini sekalipun merupakan proletariat pasif dan homogen, namun sebaliknya, telah dibuktikan oleh gerakan-gerakan petani yang signifikan di Asia Selatan, Amerika Latin, Afrika dan bahkan di Eropa (di mana banyak orang telah lupa jika petani masih eksis di sana.” (2003:195)

Meskipun gambaran Clammer tentang petani tidak tepat benar jika dipetakan pada sosok kaum tani dewasa ini[7], namun kita tidak bisa memungkiri bahwa petani memiliki peran penting dalam perubahan sosial dan perkembangan sejarah sebuah masyarakat. Pernyataan Clammer tersebut memperkuat catatan Wolf (1969) tentang perlawanan petani Vietnam terhadap invasi Perancis dan Amerika Serikat. Wolf mencatat, “… melalui bantuan militer untuk Prancis yang tengah berperang, kemudian melalui misi militernya, dan akhirnya – sejak tahun 1962 – memperkuat komitmen pasukannya sendiri, Amerika Serikat mencari kemenangan militer dan politik dalam suatu perang bagi kontrol atas jantung dan pikiran suatu rakyat petani”. (2004:1)

Catatan Wolf tersebut menunjukkan pada kita tentang dua hal. Pertama, bahwa kaum petani yang sering di-stereotype-kan bodoh dan pasrah (tunduk pada nasib kemiskinan dan penderitaannya), yang oleh pejabat militer Amerika serikat sering disebut “si haram jadah compang camping berpiyama hitam” (Wolf 2004:1) itu pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang secara politis tidak mudah ditaklukkan dan menyerah begitu saja pada kondisi yang tidak menguntungkan kehidupannya. Kedua, bahwa kaum yang sering disikapi secara sinis sebagai kelompok masyarakat yang tidak memiliki sejarah itu pada dasarnya mengambil peran penting dalam perkembangan sejarah dan perubahan sosial sebuah masyarakat. Seperti dikemukakan oleh Kartodirjo (1984), meskipun dalam gerakan sosial dan pemberontakan yang diberi label “pemberontakan petani” (peasant revolt) sekalipun kaum petani lebih banyak berperan sebagai “gerbong” (massa aksi) pengikut kaum pemuka desa, bukan subyek gerakannya itu sendiri, tetapi mereka memiliki peran penting dalam sejarah dan perubahan sosial sebuah masyarakat. Dalam sejarah Indonesia misalnya, terutama dalam sejarah Jawa abad XIX, pemberontakkan petani yang oleh penjajah dianggap sebagai wabah atau penyakit sosial merupakan bukti, bahwa petani memiliki peran penting dan posisi politik yang diperhitungkan dalam perkembangan sejarah Indonesia.

Masyarakat petani di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka (1950-1960-an) sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan sosial Barat. Kajian terhadap masalah petani terutama berpusat pada hubungan mereka (petani) dengan negara, terutama jika mereka menimbulkan masalah bagi negara (revolusioner dan membangkang) (Selemink 2004:263). Konteks hubungan petani dan negara tersebut secara spesifik adalah konteks penetrasi kapitalisme Barat (terutama Amerika Serikat) ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka.

Tumbuhnya perhatian besar terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka[8] bukan semata-mata didorong oleh minat dan kehausan intelektual, melainkan karena tekanan internal dan eksternal dalam ilmu sosial (Mirsel 2004), yakni kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang memiliki relevansi teoretis dan politis.[9] Dengan kata lain, perhatian tersebut didasari oleh kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang sesuai dengan kepentingan ideologi-politik yang dominan maupun marjinal dalam sebuah masyarakat. Pertempuran antara kubu ekonomi moral lawan ekonomi rasional yang muncul dalam konteks “Perang Vietnam” misalnya, bukan semata-mata perdebatan antara kubu kaum substantifis dan rasionalis yang murni muncul karena pertimbangan-pertimbangan teoretis, melainkan dipicu oleh pertempuran kapitalisme lawan sosialisme; kaum revolusioner lawan kontra-revolusioner.[10] Demikian pula perdebatan antara intelektual pengusung gagasan reforma agraria lawan pendukung revolusi hijau dalam konteks Perang Dingin dan era state-led-development (tahun 1960-1970-an) pada dasarnya merupakan pertempuran antara kubu kapitalisme lawan sosialisme dan populisme.[11] Sampai pada titik ini kita bisa menyepakati Scott yang mengatakan, bahwa perdebatan ilmiah bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh konteks historis dan politisnya.[12]

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat membuat beberapa catatan tentang posisi petani dalam kajian ilmu sosial. Pertama, perhatian terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka vis a vis kapitalisme-negara yang dipropagandakan negara-negara Barat lebih banyak didasari oleh kepentingan ideologi-politik Amerika Serikat untuk menamkan pengaruhnya di negara-negara Dunia Ketiga di satu sisi; dan menandingi pengaruh negara-negara Eropa Timur, terutama Uni Soviet yang berhaluan sosialisme-komunisme di sisi lain. Itu artinya, besarnya perhatian intelektual Barat terhadap kehidupan petani di negara-negara Dunia Ketiga lebih banyak didasari oleh kehendak untuk membangun kekuatan kontra-revolusi terhadap kekuatan-kekuatan yang potensial menentang sistem kapitalisme-liberalisme. Dengan demikian, kedua, selain petani menjadi obyek kajian ilmu sosial, juga menjadi obyek pertempuran ideologi-politik dominan. Itu artinya, petani menjadi arena diskursif kekuasaan dan pengetahuan. Seperti telah disinggung di atas, hal ini logis, karena petani merupakan kelompok masyarakat yang menempati proporsi terbesar penduduk dunia, terutama di negara-negara Dunia Ketiga.

Kedudukan Studi Gerakan Sosial dalam Ilmu Sosial
Satu persoalan klasik yang senantiasa dihadapi ilmu sosial adalah masalah pembatasan atau pemberian arti sebuah istilah. Dalam ilmu sosial tidak pernah ada satu istilah pun yang memiliki arti tunggal. Demikian pula dengan istilah gerakan sosial. Tidak saja pengertiannya bermacam-macam, tetapi juga kontroversial. Ini merupakan konsekuensi logis dari (1) realitas sosial yang selalu berubah; (2) beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat yang hendak “dijelaskannya” (positivisme), “dipahaminya” (interpretatif), dan “diubahnya” (kritisisme)[13]; (3) adanya hubungan timbal-balik antara realitas sosial (yang “diteorikan”) dengan teori sosial (yang “direalitaskan”)[14]; dan khusus untuk konteks Indonesia adalah (4) adanya persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.[15]

Karena rumusan sebuah istilah senantiasa dikendalikan oleh paradigma pemikiran atau landasan filosofis yang mendasarinya[16], maka sebelum saya mengemukakan beberapa pengertian gerakan sosial, terlebih dahulu akan dibahas kedudukan dan perkembangan studi gerakan sosial dalam khasanah perkembangan ilmu sosial. Pembahasan masalah ini penting, mengingat perkembangan ilmu sosial, demikian pula realitas sosial yang membentuk dan dibentuknya senantiasa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah teka-teki yang masih tersembunyi dan belum terjawab di dalam paradigma sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu (Mirsel 2004:11). Tekanan eksternal terjadi pada dua tataran. Pertama, terjadinya pergeseran-pergeseran di dalam gaya pemikiran (intellectual fashions) dan aliran pemikiran (intellectual currents); dan kedua, datang dari perubahan yang terhadi dalam gejala-gejala itu sendiri. Kaitan antara pergeseran-pergeseran internal dan eksternal di dalam ilmu pengetahuan dengan pola-pola aliran pemikiran yang lebih luas; dan dengan gejala itu sendiri disebut sebagai ruang lingkup sejarah.

Sekilas tentang Teori Gerakan Sosial Klasik
Perhatian terhadap gerakan sosial pertama kali lahir sebagai reaksi terhadap munculnya gejala kerumunan (crowd), acting mob, kelompok-kelompok panik, perilaku yang berubah-ubah (fads), kerusuhan massal, histeria, protes, dan tindakan-tindakan kolektif lainnya yang dianggap brutal, intoleran, tidak rasional, dan destruktif, seperti gerakan McCarthysisme di Amerika Serikat yang menggerus dan menghabisi para pendukung golongan kiri (gerakan anti-komunisme), atau gerakan nazi yang menghabisi etnis Yahudi. Itulah sebabnya studi gerakan sosial pada masa ini (1940-1960-an) menekankan pada aspek irrasionalitas yang mendorong munculnya tindakan kolektif dalam bentuk kekerasan. Implikasinya, sebagai sebuah gejala, gerakan sosial dan perilaku kolektif lainnya dipandang secara negatif – dianggap sebagai penyakit sosial yang harus disembuhkan. Munculnya pandangan semacam itu terkait erat dengan paradigma pemikiran yang dominan waktu itu, yakni teori-teori konsensus (fungsionalisme) yang menekankan keseimbangan, harmoni, keteraturan dan stabilitas (status quo) dalam masyarakat. Pilihan ini logis, karena pada saat yang sama dunia tengah berada dalam kondisi di mana rezim-rezim anti-demokrasi dan represif – seperti Nazisme di Jerman, Fasisme di Jepang dan Italia, Stalinisme di Uni Soviet – menjadi kekuatan geopolitik utama.

Penelitian tentang gerakan sosial pada periode ini terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” muncul gerakan sosial – faktor-faktor apa saja yang mendorong seseorang melibatkan diri dalam gerakan sosial. Ada tiga perspektif teoretis yang menjadi dasar bagi para ilmuwan sosial dalam menjawab pertanyaan tersebut, yakni fungsionalisme (Emile Durkheim); Marxisme (Karl Marx), dan liberal-individualisme (para filsuf pencerahan, seperti John Locke, Thomas Hobes, John Stuart Mill, dan Adam Smith).[17]

Persepektif fungsionalisme, seperti kita ketahui, mengandaikan kehidupan sosial itu seperti tubuh makhluk hidup. Mereka percaya, bahwa analogi biologi dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat. Individu-individu sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan masyarakat dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosial sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosial sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.

Meskipun Durkheim secara pribadi tidak mengkaji gerakan sosial, tetapi pandangannya tentang masyarakat banyak memberi sumbangan konseptual bagi studi-studi gerakan sosial periode awal. Konsep-konsep tersebut antara lain “anomie”, “regulasi sosial” versus “integrasi sosial”, dan “solidaritas sosial” versus “kesadaran kolektif”. Konsep-konsep tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari kondisi-kondisi sosial dan faktor-faktor sosial-psikologis yang mendorong lahirnya gerakan sosial, seperti protes, kerusuhan massa, dan perilaku-perilaku kolektif lainnya yang dianggap destruktif dan mengganggu stabilitas sosial dalam masyarakat.

Berbeda dengan fungsionalisme, perspektif Marxis memandang masyarakat tidak bersifat statis, karena selalu berada dalam kondisi yang konfliktual, yakni pertentangan kelas proletar lawan borjuis. Sejarah masyarakat, demikian menurut Marx, adalah sejarah perjuangan kelas. Pandangan ini didasari oleh keyakinan bahwa struktur sosial sebuah masyarakat, secara deterministik dibentuk oleh sistem ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Terciptanya struktur sosial dalam sebuah masyarakat, bukan karena individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi satu sama lain, melainkan karena adanya kelas yang didominasi (kaum proletar) dan kelas yang mendominasi (kaum borjuis). Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak pernah statis, karena kaum proletar sebagai pihak yang didominasi akan senantiasa melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Asumsinya, hanya dengan jalan mengubah sistem ekonomilah, struktur masyarakat yang dominatif akan berubah. Karena itu, meskipun Marx meyakini adanya telos (tujuan akhir) dalam perjalanan sejarah masyarakat – yang itu berarti akhir dari konflik dan pertentangan kelas – tetapi dia percaya, hanya dengan jalan perjuangan kelas dan revolusilah telos dari perjalanan sejarah masyarakat bisa tercapai.

Dilihat dari perspektif Marxis, maka gerakan sosial tidak dianggap sebagai penyakit sosial, melainkan merupakan gejala yang positif. Kemunculannya bukan disebabkan oleh adanya gangguan dalam struktur sosial, melainkan karena terjadinya proses eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lainnya. Gerakan sosial, dengan demikian, dipahami sebagai reaksi (perlawanan) kaum proletar terhadap kaum borjuis, merupakan ekspresi dari struktur kelas yang kontradiktif. Singkatnya, gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena adanya kesadaran kelas.

Gagasan liberal-individualisme merupakan produk pencerahan masyarakat Eropa Barat. Gagasan ini menekankan akan arti pentingnya hak-hak dan kebebasan individu dan rasionalitas (akal). Itulah sebabnya, kepentingan-pribadi (self-interest) yang rasional sifatnya diletakkan sebagai kata kunci untuk memahami kehidupan sosial, terutama aspek ekonomi dan politik. Para penganutnya percaya, bahwa kehidupan sosial senantiasa berjalan di bawah kendali motif kepentingan-pribadi yang melekat dalam diri setiap individu.

Terhadap studi gerakan sosial, perspektif liberal-individual menyumbangkan gagasan, bahwa faktor pendorong utama lahirnya gerakan sosial adalah karena adanya kepentingan pribadi dari setiap individu yang terlibat didalamnya. Kepentingan pribadi di sini secara spesifik menunjuk pada keuntungan ekonomi dan politik (kekuasaan). Oleh sebab itulah, dalam perspektif liberal-individual, gerakan sosial lebih dimaknai sebagai kalkulasi kepentingan-kepentingan individu untuk memperoleh keuntungan ekonomi-politik.

Sekilas tentang Teori Gerakan Sosial Baru dan Mobilisasi Sumberdaya
Teori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya merupakan dua perspektif teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial kontemporer.[18] Tidak hanya itu, kedua teori itupun memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga. Kedua perspektif tersebut lahir sebagai kritik terhadap teori gerakan sosial klasik yang dinilai tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh terhadap perkembangan gejala gerakan sosial dewasa ini.

Jika dalam studi-studi gerakan sosial yang berkembang pada tahun 1940-1960-an gerakan sosial dianggap sebagai gejala penyipangan (deviant)[19], irasional dan dianggap penyakit sosial, maka dalam studi-studi yang berkembang pada 1960-1970-an dan 1980-an hingga sekarang, gerakan sosial dipandang sebagai gejala positif yang kelahirannya didasari oleh alasan-alasan rasional. Lahirnya pandangan positif merupakan implikasi dari perkembangan gerakan sosial dewasa ini, yang dinilai telah berhasil mendorong proses demokratisasi. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, gerakan anti kolonial, gerakan anti komunis, gerakan anti-rasial. Itulah sebabnya, minat para intelektual sosial untuk mempelajari gerakan sosial tidak lagi didasari oleh pertanyaan “mengapa”, melainkan “bagaimana” organisasi gerakan sosial bekerja dalam memperjuangkan kepentingan dan tujuan-tujuannya, termasuk strategi dan taktik yang dijalankannya.

Sebagai konsekuensi logis dari orientasi nilai terhadap gerakan sosial di satu sisi, dan dasar pertanyaan studi yang dikemukakan di sisi lain, perspektif teori yang mendominasi studi gerakan sosial pada periode ini adalah teori-teori pilihan rasional, teori mobilisasi sumber daya, dan teori-teori yang dikembangkan dari perspektif Marxis. Perspektif teori-teori yang dikembangkan pada umumnya meletakkan gejala gerakan sosial sebagai aktor penting yang berperan dalam proses perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi.

Dalam konteks kekinian, ada dua teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial, yakni teori mobilisasi sumber daya yang berbasis di Amerika Serikat, dan perspektif gerakan sosial baru yang berbasis di Eropa Barat.[20] Teori mobilitas sumber daya lahir sebagai tanggapan terhadap perspektif teori Durkheimian yang memandang gerakan sosial secara negatif – sebagai anomie dan perilaku irasional. Sedangkan perspektif teori gerakan sosial baru lahir sebagai tanggapan terhadap perspektif Marxis yang dinilai reduksionis, karena menerjemahkan gerakan sosial semata-mata sebagai perjuangan kelas.

Dalam memandang gerakan sosial, kedua perspektif tersebut tidak melihatnya sebagai artikulasi dari aliran pemikiran atau ideologi tertentu, melainkan sebagai tanggapan terhadap persoalan-persoalan sosial secara luas. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya gerakan-gerakan sosial yang tidak mendasarkan gerakannya pada kesadaran kelas dan “ideologi” tertentu, melainkan pada identitas dan kesadaran/perhatian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat secara luas. Secara empiris, gerakan sosial yang muncul pada periode ini dicirikan oleh kaburnya batas-batas ideologi, asal-usul dan latar belakang sosial, serta hal-hal sempit lainnya yang melekat pada seseorang, yang dapat merintangi upaya penyatuan kehendak untuk melakukan perubahan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan lingkungan, gerakan perempuan, gerakan anti-nuklir, gerakan homo seks (gay), dan gerakan-gerakan “lintas-batas kelas” lainnya.

Konsep Gerakan Sosial: Mencari Rumusan yang Tepat untuk Konteks Indonesia
Salah satu bidang kajian sosial yang mengalami perkembangan sangat cepat adalah studi tentang gerakan sosial. [21] Percepatan ini sejalan dengan terjadinya perubahan sosial yang begitu cepat pula. Implikasinya, upaya pengkonseptualisasian dan pendefinisian gerakan sosial masih terus diperdebatkan – belum ada kesepakatan umum. Implikasi berikutnya, konsep dan pengertian gerakan sosial sering dianggap kabur, karena beranekaragamnya pengertian yang ada.

Dalam ilmu sosial masalah semacam ini tidaklah aneh, karena akan selalu muncul. Ada beberapa hal yang dapat ditunjuk sebagai penyebabnya. Pertama, pemaknaan terhadap sebuah gejala sosial dan penerjemahan terhadap sebuah istilah dan konsep – sebagai abstraksi dari gejala – sangat ditentukan oleh, atau bergantung pada landasan flosofis dan paradigma yang dianut/digunakan oleh si peneliti. Kedua, adanya kaitan yang sangat erat (hubungan timbal balik) antara si peneliti (knower) dengan obyek yang ditelitinya (known). Ketiga, dalam studi gerakan sosial, perubahan dan pergeseran yang terjadi pada tataran empiris sangat cepat mempengaruhi perubahan dan pergeseran pada tataran teoretis, demikian pula sebaliknya. Dengan kalimat lain, hubungan timbal balik antara “gerakan sosial dari” dan “gerakan sosial untuk” relatif cepat terjadi. Keempat, bias kepentingan dalam studi gerakan sosial–seperti juga dalam studi-studi sosial pada umumnya–signifikan mempengaruhi terjadinya pergeseran dan perubahan gerakan sosial, baik di tataran empiris maupun teoretis. Singkat kalimat, adanya tuntutan untuk mensinergiskan “relevansi teoretis dan sosial”; “tekanan internal dan eksternal”; serta “teori dan praksis” sangat kuat mendorong perubahan dan pergeseran gerakan sosial, baik sebagai gejala sosial yang hendak dijelaskan maupun sebagai alat untuk menjelaskan.

Dalam bagian ini akan dikemukakan hasil penelusuran (sementara) penulis tentang pengertian-pengertian gerakan sosial yang ada. Dari pengertian-pengertian tersebut akan akan dicoba untuk merumuskan ciri dan karakteristik gerakan sosial secara umum.

Davil L. Sills (1972:438-439), gerakan sosial adalah the term social movement or its equivalent in other Western languages is being used to denote a wide variety of collective attemps to bring about a change in certain social institutions or to create an enterely new order. Social movements are a specific kind of concerted actions groups; they last longer and are more integrated than mobs, and crowds and yet are not organized like political clubs and other association.

Ribert Mirsel (2004:6-7), gerakan sosial adalah seperangkat keyakinan dan tindakan yang tidak terlembaga (noninstitutionalized) yang dilakukan sekelompok otang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam sebuah masyarakat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:312), gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.
Kuper dan Kuper (Kuper and Kuper 1985:778), gerakan sosial adalah institutionalized groups in some insurgent relationship to existing society, involving unmediated bonds between leaders and followers.
Rudolf Heberle (1949) sebagaimana dikutip oleh Latit Kumar (2004), gerakan sosial adalah collective attemps to bring about a social change.
Herbert Blumer (1939: 99), social movements can be viewed as collective enterprises to establish a new order of life. They have their inception in the condition of unrest, and derive their motive power on one hand from dissatisfaction with the current form of life, and on the other hand, from wishes and hopes for a new scheme or system of living.
Encyclopedia Britanica, sebagaimana dikutip oleh Kumar, gerakan sosial adalah loosely organized but sustained campaign in support of social goal, typically either the implementation or the prevention of a change in society’s structure or values.
Turner dan Killan 1987:3, sebagaimana dikutip Muukkonen 1999:29, gerakan sosial adalah a collectivity acting with some continuity to promote or resist a change in the society or groups of which it is a part.
McCarthy and Zald 1977:1217f, sebagaimana dikutip oleh Muukkonen (1999:23), gerakan sosial adalah a set of opinions and belief in a population which represents preferences for changing some elements of the social structure and for reward distribution of society.
Anthony Giddens (2001:699), gerakan sosial adalah a large grouping of people who have become involved in seeking to accomplish, or to block, a process of social change. Social movement normaly exist in relations of conflict with organizations whose abjectives and outlook they frequently oppose. However, movements which successfully challenge for power, once they become institutionalized, can develop into organizations.
Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Pasuk Phongpaichit 2004), gerakan sosial adalah defensive relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of the state system and market economy.
Doug McAdam (1982:25), sebagaimana dikutip oleh Benita Roth, gerakan sosial adalah those organized efforts, on the part of excluded groups, to promote or resist changes in the structure of society that involve recourse to noninstitutional forms of political participation.

Sidney Tarrow (1994:4) sebagaimana dikutip oleh Benita Roth, menerjemahkan gerakan sosial sebagai expressions of extremism, violence, and deprivation, they are better defined as collective challenges, based on common purposes and social solidarities, in sustained interaction with elites, opponents, and authorities.
Ralph H. Turner dan Lewis M. Killian(1972, 1987:223) sebagaimana dikutip oleh Benita Roth, gerakan sosial adalah a collectivity acting with some continuity to promote or resist a change in the society or organization of which it is a part.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai ciri-ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau untuk mempertahankan suatu kondisi. Itu artinya, tujuan sekelompok orang untuk melakukan gerakan sosial tidak selalu didasari oleh motif dan cita-cita ‘perubahan’, karena bisa juga–disadari atau tidak– ditujukan untuk mempertahankan keadaan (status quo). Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisasi, baik formal maupun tidak. Keenam, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

Dengan melihat pengertian-pengertian tersebut, pemilahan antara gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru sesungguhnya menjadi tidak relevan, karena secara empiris, keduanya eksis di masyarakat. Lebih dari itu, terjadi konvergensi atau percampuran antara gagasan yang terkandung dalam gerakan sosial baru dengan gerakan sosial lama. Seperti yang dilaporkan oleh Gianote et.al. (1985), MacRae (1992), Shneider (1992) dan Starm (1992) tentang gerakan sosial di Amerika Latin, bahwa secara empiris kita akan sukar untuk memilah karakter gerakan sosial yang ada sekarang ke dalam gerakan sosial baru dan lama secara ketat.[22] Dalam praktiknya, banyak organisasi-organisasi gerakan sosial–organisasi non-pemerintah–di Amerika Latin yang disadari atau tidak menggabungkan gagasan-gagasan perjuangan kelas dengan gagasan-gagasan perjuangan lintas-kelas yang dipromosikan oleh teori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya.[23] Kenyataan serupa terjadi pula di Indonesia. Salah satu contoh yang paling jelas dapat kita temukan dalam gerakan reforma agraria yang mengemuka pada tahun 1990-an hingga sekarang. Beberapa ornop dan organisasi petani pendukung reforma agraria yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tampak secara eksplisit hendak mempraksiskan gagasan perjuangan kelas, sebagaimana tampak dalam moto perjuangan mereka: “tanah untuk penggarap”. Selain itu, gerakan mereka pun menjalankan upaya penyadaran dan penguatan petani untuk mendongkrak potensi perlawanan petani vis a vis pemilik modal dan negara. Namun demikian, strategi perjuangan kelas tersebut tampak menjadi ironis, karena di sisi lain, mereka pun terlibat dalam upaya merumuskan kebijakan agraria bersama-sama dengan pemerintah dan parlemen, serta terlibat dalam upaya penyelesaian konflik yang dilakukan di luar kerangka pelaksanaan reforma agraria, yakni perombangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah secara nasional.
Dengan mengacu pada contoh tersebut, maka akan sangat sulit bagi kita untuk memilah gerakan sosial kontemporer ke dalam kategori-kategori gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru.[24] Untuk itu, ada dua tugas utama yang harus kita lakukan jika hendak memelajari gerakan sosial kontemporer. Pertama, membuat rumusan konsep atau pengertian gerakan sosial yang relatif longgar, dengan memperhatikan ciri dan karakteristik gerakan sosial yang dikemukakan di atas. Kedua, membuat semacam elaborasi dua atau lebih perspektif teori yang dinilai cocok dengan situasi dan kondisi di lapangan.[25]

Perlawanan Petani dan Konflik Agraria: Apa yang hendak Dipelajari dari sana?
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak literatur yang membahas gerakan sosial kontemporer, gerakan sosial dewasa ini tidak lagi mendasarkan gerakannya pada gagasan ideologi-ideologi besar, tidak mengenal sekat kelas, dan tidak revolusioner – perombakkan struktur kekuasaan politik dan ekonomi. Gerakan lingkungan, gerakan gay, gerakan perempuan, gerakan anti nuklir, gerakan masyarakat adat adalah beberapa contohnya. Di sisi lain, menurut beberapa kalangan aktivis gerakan sosial – praktisi pengguna teori gerakan sosial –yang tergabung dalam organisasi non-pemerintah, model gerakan yang lahir dari sejarah masyarakat Barat ini diyakini lebih “ampuh” – dan relevan dengan perkembangan jaman – dibanding gerakan sosial yang berbasis ideologi dan kelas.
Adanya penilaian semacam itu merupakan pertanda, bahwa gejala sosial yang muncul dalam sejarah masyarakat Barat itu tidak hanya menjadi pengetahuan tentang realitas sosial Barat, melainkan sudah menjadi sebuah model – modelisasi (dimodelkan) – gerakan sosial kontemporer yang bisa – disarankan, bahkan “diwajibkan” – ditiru dan diaktualisasikan dalam konteks masyarakat bukan Barat. Timbulnya keinginan untuk mencangkokkan realitas sosial Barat tersebut bukan semata-mata karena sudah lulus uji teoretis dan empiris, melainkan lebih merupakan satu bentuk keberhasilan propaganda dan hegemoni pengetahuan Utara ke Selatan, baik melalui birokrasi dan institusi pengetahuan akademis (perguruan tinggi) maupun non-akademis (organisasi non-pemerintah, lembaga penelitian pemerintah dan swasta). Dalam hal ini saya tidak memandang, bahwa masyarakat di Selatan itu statis dan tidak memiliki kehendak, sementara Utara itu dinamis dan selalu menjadi subyek. Saya percaya, bahwa kedinamisan adalah normal dan akan selalu demikian adanya. Namun, yang harus kita garis bawahi adalah, bahwa jiwa – hasrat, keinginan, motif, preferensi, referensi, dan ukuran tentang sesuatu – yang menghidupkan dinamika masyarakat bergantung pada relasi kuasa. Itu artinya, dinamika dan arah perubahan masyarakat sangat ditentukan oleh kehendak kekuasaan.

Pertanyaannya kini, apakah benar model gerakan sosial baru (GSB) lebih “ampuh” dari gerakan sosial “lama” (GSL)? Pertanyaan ini muncul, karena saya yakin dalam tubuh GSB ada banyak persoalan yang cukup mendasar yang membuat GSB tidak tajam dan tidak revolusioner seperti gerakan sosial yang meletakkan ideologi dan kesadaran kelas sebagai basis gerakan. Secara hipotesis saya bisa mengatakan, bahwa perbedaan kelas dan latar belakang sosial, ekonomi, politik, serta budaya orang-orang yang terlibat dalam GSB banyak menyimpan persoalan – laten maupun manifes – yang membuat GSB tidak seradikal, sefundamental, dan serevolusioner gerakan kelas dan ideologi. Saya juga yakin ada mitos yang dipelihara dalam GSB sehingga orang-orang yang tadinya meyakini keampuhan GSL berbelok haluan ke GSB.

Menanggapi hal ini, maka tugas peneliti adalah membongkar asumsi-asumsi dan mitos-mitos yang melekat dalam paradigma GSB, dan menunjukkan, bahwa lunturnya GSL bukan karena penjelasan-penjelasan teoretisnya gugur (sebagian) menghadapi realitas dan pertanggungjawaban teoretis, melainkan karena alasan-alasan ideologis dan politis. Kekalahan GSL dalam arena pertempuran wacana bukan semata-mata karena tesis GSL memiliki kelemahan, melainkan karena dimitoskan sebagai sesuatu yang sudah tidak cocok, tidak berguna dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Untuk membuktikan apakah benar ada mitos atau tidak, maka harus dilakukan penelitian/kajian empiris. Salah satu kasus yang bisa diteliti adalah konflik tanah yang didalamnya melibatkan tindakan kolektif petani, organisasi tani dan organisasi non-pemerintah, termasuk lembaga donor yang ada di balik ornop.

Mengapa kasus konflik tanah? Pertama, konflik baik sebagai sebuah peristiwa maupun gejala merupakan produk perilaku kolektif masyarakat (petani) untuk memperoleh penguasaan atas tanah. Kedua, baik sebelum maupun setelah konflik terjadi, kehadiran ornop dan organisasi mahasiswa yang memberi dukungan – baik upaya penyelesaian maupun dorongan/mobilisasi untuk melakukan tindakan kolektif non-institusionalized –telah memberi pengaruh berupa pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan (baru) yang berbeda dengan masyarakat yang “didampinginya”. Selain itu, kehadiran ornop juga sedikit banyak akan memberi pengaruh dalam bentuk pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan baru kepada masyarakat dalam melihat masalah pertanahan khususnya dan realitas kehidupan pada umumnya.

Pertanyaannya, pengaruh-pengaruh apa saja yang memasuki peta pengetahuan dan kesadaran masyarakat; apakah memberi sumbangan positif bagi upaya perbaikan kehidupan masyarakat sesuai dengan yang mereka bayangkan dan kehendaki? Apakah pengaruh pengetahuan dan kesadaran baru tersebut semakin memperkuat potensi dan aktualisasi perlawanan masyarakat, sehingga mampu mendorong ke arah perubahan yang mendasar, atau justru sebaliknya? Ketiga, selain pengaruh pengetahuan dan kesadaran baru, kehadiran ornop di masyarakat juga telah membuka akses baru kepada masyarakat untuk terlibat dalam (1) jaringan yang lebih besar, formal, sistematis, rumit dan terlembagakan; dan (2) melintasi batas geografis, serta perbedaan latar belakang sosial dan budaya. Apa implikasi positif dan negatif berjaringan terhadap perubahan di tingkat lokal?
Rerkomendasi untuk Penelitian
Penelitian tentang perlawan petani dan konflik agraria selayaknya diletakkan dalam kerangka studi gerakan sosial. Ada beberapa pertimbangan penting yang mendasari hal tersebut. Pertama, sebagai sebuah peristiwa maupun gejala, konflik agraria merupakan produk dari gerakan sosial, baik yang terorganisasi secara formal maupun tidak. Kedua, penelitian yang memfokuskan perhatian pada konflik agraria pada umumnya lebih diarahkan untuk kepentingan penyelesaian konflik, bukan untuk mencari jawaban, mengapa konflik yang sifatnya lokal tidak pernah berkembang menjadi besar. Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat logika perjuangan mewujudkan reforma agraria mensyaratkan adanya sebuah perlawanan massif dari petani terhadap strukrur kekuasaan negara. Ketiga, organisasi petani yang berkembang di Indonesia pada umumnya lahir atas dukungan organisasi-organisasi non-pemerintah. Diletakkan dalam konteks studi gerakan sosial, gejala ini penting untuk diperhatikan, mengingat organisasi non-pemerintah memiliki peran dalam proses sosialisasi dan internalisasi strategi dan model gerakan sosial Barat kepada organisasi petani yang menjadi “dampingannya”. Arti penting kita memperhatikan masalah ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana modelisasi gerakan sosial yang dibawa oleh organisasi non-pemerintah membawa dampak terhadap dinamika dan arah gerakan organisasi-organisai petani di Indonesia. Diletakkan dalam kerangka reforma agraria, upaya ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan, apakah model dan strategi gerakan sosial yang disosialisasikan dan diinternalisasikan oleh organisasi non-pemerintah terhadap organisasi petani tersebut diarahkan untuk mendorong “revolusi” atau justru – disadari maupun tidak – merupakan “kontra-revolusi”.[26]

Upaya untuk menelusuri pengaruh organisasi non-pemerintah terhadap gerakan petani menjadi semakin penting apabila dikaitkan dengan kenyataan sejarah, bahwa setiap gerakan sosial dan pemberontakkan yang disebut “pemberontakan petani” (peasant revolt) sekalipun, petani sesungguhnya lebih banyak berperan sebagai “gerbong” (massa aksi) pengikut kaum pemuka desa, bukan subyek gerakannya itu sendiri.[27] Pemimpin-pemimpin gerakan petani kebanyakan berasal dari kalangan elite desa, seperti pemuka agama, kaum ningrat atau orang-orang dari golongan penduduk desa yang menduduki status sosial terhormat (Kartodirjo 1984:16).

Jika demikian adanya, maka pertanyaannya, mengapa kaum tani cenderung hanya menjadi gerbong sebuah gerakan sosial? Pertanyaan ini masih penting untuk dikemukakan, karena kecenderungan semacam itu tampaknya masih terjadi hingga kini. Perbedaannya hanya terletak pada aktor-aktor yang berdiri, baik di depan maupun di belakang gerakan perlawanan petani. Jika dulu peran itu dipegang oleh pemuka agama dan kalangan elite desa, sementara sekarang diisi oleh kalangan intelektual perkotaan yang aktif dalam organisasi-organisasi non-pemerintah. De facto, elite desa dan kalangan pemuka masyarakat memang masih memiliki peran penting, tetapi bukan sebagai aktor tunggal yang memberi preferensi nilai dan visi perjuangan seperti dulu. Peran mereka lebih sebagai penghubung (dalam arti luas) masyarakat dengan penggiat ornop, yakni sebagai “penerjemah bahasa” – pengetahuan, kesadaran, keyakinan, visi – kalangan ornop.

Penelitian tentang perlawan petani dan konflik agraria selayaknya dilaksanakan di daerah yang tengah mengalami konflik agraria. Namun demikian, yang menjadi unit analisis penelitian bukan komunitas, melainkan para petani yang terlibat dalam konflik. Jika para petani tersebut sudah tergabung dalam organisasi tani, maka yang menjadi unit analisis penelitian adalah organisasi tani yang bersangkutan. Selanjutnya, mengingat penelitian inipun hendak melihat pengaruh organisasi non-pemerintah terhadap dinamika dan arah gerakan petani, maka adanya keterlibatan organisasi non-pemerintah dalam konflik agraria menjadi salah satu kriteria penelitian yang harus dipenuhi.
BOX

Gerakan Sosial “dari” dan “untuk”: Sebuah Ilustrasi Empiris
Tiga tahun yang lalu (2003) saya sempat berdiskusi dengan direktur salah satu ornop yang menangani masalah petani di Yogyakarta, sebut saja Parto. Selain masalah agraria dan petani, satu persoalan menarik yang saya catat dari diskusi itu adalah soal wacana ‘gerakan sosial’. Wong Yogya ini mengatakan, bahwa untuk saat ini ornop, gerakan mahasiswa, organisasi tani, serikat buruh dan lain-lain harus sudah mengubah strategi perjuangannya dari basis ideologis ke non-ideologis; dari gerakan kelas ke non-kelas. Dalam kondisi dan perkembangan masyarakat seperti sekarang, menurut dia, sudah tidak cocok lagi menempatkan perspektif pemikiran ideologi-ideologi besar – sosialisme, komunisme, populisme dan sebagainya – sebagai pondasi perjuangan. Meskipun tidak cukup jelas kondisi seperti apa yang dia maksud, yang jelas dia menginginkan sebuah gerakan sosial yang bisa mendobrak batas-batas ideologi, asal-usul dan latar belakang organisasi, serta hal-hal sempit lainnya yang melekat pada seseorang, yang dapat merintangi upaya penyatuan kehendak untuk melakukan perubahan sosial. Dalam memperjuangan pembaruan agraria misalnya, siapa dan dari manapun seseorang berasal bisa ikut bergabung memperjuangkan cita-cita tersebut. Tidak perlu ada pembatasan apakah dia petani atau bukan, berideologi kiri, tengah, kanan, atau “tanpa ideologi”, petani yang didamping ornop atau bukan, dan seterusnya. Pembatasan-pembatasan tidak produktif seperti itu harus ditinggalkan dan diganti dengan konsep gerakan sosial yang bersifat inklusif. Label organisasi dan status seseorang (individu) yang dapat mengikat kebebasan dan totalitasnya untuk bersikap dan bertindak, menurutnya, harus dilepaskan.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Parto sampai pada pilihan konsep gerakan sosial semacam itu. Pertama, berdasarkan pengalamannya, kecenderungan terjadinya friksi, pertentangan dan polarisasi di antara elemen organisasi pro pembaruan agraria banyak dipicu oleh perbedaan-perbedaan yang secara substantif tidak prinsipil, kecuali arogansi dan hasrat mengunggulkan diri merasa yang paling benar, atau rebutan proyek dari donor. Kedua, konsep ‘pendampingan’ yang diterapkan ornop telah menjadi salah satu penyebab timbulnya friksi dan pertentangan, baik antarornopnya itu sendiri maupun antarmasyarakat dampingannya. Secara empiris, konsep itu telah membatasi sekaligus mengkebiri bibit solidaritas dan kebersamaan antarsesama petani yang secara geografis dan programatis (untuk sebagian petani) tersekat-sekat. Selain itu, ketiga, ada juga fakta yang menunjukkan, bahwa masyarakat yang didampingi ornop sering dimanfaatkan, “diobyekkan” dan diklaim sebagai basis masa yang secara struktural berada di bawah ornop pendampingnya (underbow). Keempat, dalam membangun aliansi atau front perjuangan bersama, latar belakang organisasi sering menjadi faktor yang membatasi seseorang untuk secara total terlibat dalam perjuangan. Alasannya bermacam-macam, bisa karena agenda perjuangan yang akan dilaksanakan tidak sejalan atau bukan bagian dari program kerja lembaga tempat di mana dia beraktivitas/bekerja, tidak ada dukungan dana dari lembaga, tidak ada insentif yang jelas, dan hal-hal pragmatis lainnya. Jika saya boleh memberi tafsiran sementara, timbulnya gejala ini merupakan akibat dari adanya “pergeseran” komitmen perjuangan di lingkungan ornop dan organisasi gerakan sosial lainnya, yakni dari vokasionalisme ke profesionalisme.

Selain ketiga alasan tersebut, keinginan Parto – disadari atau tidak; sedikit atau banyak – juga dipengaruhi oleh wacana ‘Gerakan Sosial Baru’ yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Serikat sejak tahun 1970 dan 1980-an . Gejala sosial yang ada dalam sejarah masyarakat Barat yang kemudian diabstrasikan menjadi konsep dan teori tersebut tampaknya mulai diaplikasikan di lapangan. Meskipun mungkin tidak bisa dikatakan sebagai‘replikasi’ atau ‘modelisasi’ logika sejarah Barat atas Indonesia, apa yang berkembang di Barat itu telah memberi inspirasi yang cukup berarti bagi usaha merancang sebuah gerakan sosial yang (dianggap) sesuai dengan harapan di satu sisi, dan dapat mengikis persoalan-persoalan yang selama ini menghambat laju perjuangan di sisi lain.
penulis : sadikin

Catatan
[1] Dasar pengakuan dan keyakinan di sini bisa didasari oleh konstitusi, faktor sejarah, maupun bukti-bukti kepemilikan yang sah secara hukum.


[2] Bandingkan dengan Gunawan Wiradi, “Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung Pembaruan Agraria”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pembaruan Agraria, diselenggarapan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (SPTN), Badan Pertanahan Nasional (BPN), di Yogyakarta, 16 Juli 2002.


[3] Lihat Robert Mirsel, 2004. Teori Pergerakan Sosial, Terjemahan, Yogyakarta: Insisist Press. Pembahasan tentang masalah relevansi sosial dan teoretis dapat dilihat juga dalam Ignas Kleden, 1987. Strategi Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.


[4] Dalam penertiannya yang paling sederhana, reforma agraria adalah perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat.


[5] Gerakan sosial yang dimaksud dalam konteks kalimat ini secara spesifik menunjuk pada organisasi petani dan organisasi non-pemerintah yang mendukung perlawanan petani dan terlibat dalam konflik agraria – langusung maupun tidak – dan secara institusional memiliki komitmen untuk memperjuangkan reforma agraria.


[6] Lihat Sartono Kartodirjo, 1984. Pemberontakkan Petani Banten 1888, Terjemahan, Jakarta: Pustaka Jaya; John Clammer, 2003. Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Terjemahan, Cetakan Keempat, Jakarta YIIS; John Clamer, 2003. Neo-Marxisme Antropologi: Studi Ekonomi Politik Pembangunan, Terjemahan, Yogyakarta: Sadasiva, khususnya hal. 197-220; Eric R. Wolf, 2004. Perang Petani, Terjemahan, Yogyakarta: Insist.


Silahkan Tinggalkan Komentar Dengan Akun Facebook Anda Di Kolom Bawah Ini


0 komentar:

Site Info


Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Add to netvibes


Subscribe in Bloglines