Mensarikan Pendekatan Giddens Tentang Demokrasi Dalam pendekatan klasik, kaum liberal selalu menganggap negara sebagai arena untuk bertarung secara bebas. Maka negara adalah jawaban untuk mengatur warga negara. Hingga lahir kaum neo-liberal mengkritik ‘serba kebablasannya’ peran negara dalam mengatur warga negara. Kaum neoliberal lalu ingin memperkecil peran negara. Sementara dari kubu sosialis, golongan Marx ortodoks selalu menaruh kecurigaan secara ideologis negara sebagai alat kelas borjuis dalam melakukan kepentingan kelasnya. Hingga eksperimen negara sosialis yang gagal, tetap mendorong keinginan kaum sosialis, dan sosialis democrat untuk memperluasnya. Jalan ketiga sebagai proyek ambisiusnya Giddens, menyatakan penting untuk merekontruksinya –melampui mereka yang berada di kiri. Yang menyatakan “bahwa pemerintah adalah musuh”, dan kelompok kanan yang mengatakan bahwa pemerintah adalah jawabannya. (Giddens, Jalan Ketiga, h.80)

Sebab-sebab mendasar gagasan jalan ketiga adalah analisis Giddens yang tajam mengenai semakin mengemukanya pasar global dan mundurnya perang berskala besar yang telah memepengaruhi struktur dan legitimasi pemerintah. Demikian juga sebab lainnya yang mencakup semakin meluasnya penyebaran demokratisasi, yang berkaitan erat dengan pengaruh tradisi dan adat istiadat yang tumpang tindih. Daya tarik demokrasi menurutnya bukanlah sepenuhnya –dan bukan terutama—muncul dari kemenangan institusi-institusi demokrasi liberal atas institusi-institusi lain, tetapi dari kekuatan-kekuatan yang lebih dalam yang membentuk kembali masyarakat global termasuk tuntutan atas otonomi individual dan muncuknya masyarakat yang lebih reflektif. Giddens, ibid h.81). Isyu nya bukanlah peran pemerintah yang lebih besar atau lebih kecil, tetapi pengakuan bahwa pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru abad global; dan bahwa otoritas, termasuk legitimasi negara, harus diperbaharui secara aktif. Giddens merumuskan agenda perubahan, sebagai berikut:

Pertama, negara harus merespon globalisasi secara structural. Globalisasi menciptakan penalaran dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah, tetapi jutga transfer otoritas ke atas. Pendemokrasian demokrasi dalam merespon globalisasi ini, menurutnya pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi. Gerakan demokrasi ganda ini tidak dengan demikian sekedar menyebabkan melemahnya otoritas negara, tetapi juga merupakan kondisi untuk bisa menegaskan kembali otoritas negara-bangsa, karena gerakan ini dapat membuat negara lebih responsive terhadap pengaruh-pengaruh yang mengepung dan siap menyerangnya.

Kedua, negara harus memperluas peran ruang publik, yang berarti reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana perlindungan baru terhadap korupsi. Ketiga, negara tanpa musuh, dengan meningkatkan efisiensi administratifnya. Pemerintah pada semua tingkatan tidak dipercaya karena tidak praktis, tidak efektif. Selain itu, istilah birokrasi yang berkonotasi aturan dan prosedur yang serba rumit, diciptakan untuk merujuk kepada pemerintah. Sebagian besar pemerintah harus belajar banyak kepada praktek bisnis, misalnya kontrol sasaran, auditing yan efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja, semuanya menjadi factor penting reformasi kelembagaan dalam prasyarat demokratisasi. Ke-empat, Tekanan globalisasi yang hingga ke bawah mendorong pemerintah untuk mampu menemukan bentuk dan potensi demokrasi yang ada dan tumbuh di masyarakat. lain yang hidup. Hal ini harus membangun kontak langsung dengan masyarakat. Ke lima, negara harus memiliki kapasitas mengelola resiko, yang tidak hanya berhubungan dengan resiko atas jaminan keamanan, tetapi juga yang berkaitan dengan resiko ekonomis, juga resiko lainnya seperti perkembangan sains dan teknologi juga mempengaruhi pemerintah secara langsung. Ke-enam, Pendemokratisasian demokrasi tidak bisa hanya secara lokal atau nasional. Negara harus memiliki pandangan kosmopolitan, sementara demokratisasi ke atas tidak berhenti pada tingkat regional. Pendemokratisasian mengasumsikan pembaruan masyarakat sipil. Desentralisasi dan devolusi, misalnya, memiliki keterkaitan yang menarik –mengembalikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah, kota-kota, lingkungan-lingkungan tempat tingggal. Devolusi bisa mengarah kepada perpecahan jika tidak diimbangi dengan transfer kekuasaan “ke atas”.

Gagasan-gagasan politik jalan ketiga adalah bahwa negara dan masyarakat sipil harus bermitra, saling memberikan kemudahan, dan saling mengontrol. Reformasi negara dan pemerintah harus menjadi pronsip dasar. Tema mengenai pengembangan dan demokratisasi di tingkat komunitas juga sesuatu yang fundamental dalam pengembangan masyarakat sipil. Saling hubungan antara negara dan masyarakat sipil adalah bahwa pemerintah dapat mendorong pembaruan dan pembangunan masyarakat. Giddens menyebut basis ekonomi kemitraan tersebut sebagai ekonomi campuran baru (new Mixed economy) (Giddens, ibid, h. 79). Sementara ekonomi itu dapat efektif hanya jika institusi-institusi kesejahteraan yang ada dimodernisasikan secara menyeluruh. Bahwa kemajuan ekonomi yang efektif juga akan mendorong menguatnya pemerintah.
A. Karl Marx dan teori sosialnya
Marx lahir pada tahun 1818, di Trier Jerman dalam situasi masyarakat industri dengan pemandangan yang kontras, antara kelompok masyarakat yang hidup serba mewah, status tinggi, dan prestis, dengan kelompok masyarakat yang bekerja keras dipabrik-pabrik, pertambangan, dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang sangat memprihatinkan.

Setidaknya ada tiga kondisi yang secara tajam dilihat oleh Marx dalam perkembangan masyarakat industri tersebut (yang menjadi pokok-pokok persoalan sosiologis-nya); 1) hadirnya perbedaan kelompok-kelompok sosial (kelas-kelas), 2) hadirnya penguasaan ekonomi secara yang efektif, 3) munculnya hubungan dominasi dan penundukan.

Tumbuh di Jerman dan menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Berlin, Marx mewarisi pemahaman hukum dialektika dari filsafat idealisme yang diperolehnya dari pergaulan dengan para pemikir hegelian muda. Tahun 1843, Marx meninggalkan Jerman, menuju Paris, dan berkenalan dengan pemikir-pemikir sosialis Perancis seperti St. Simon, dan Proudhon, bahkan dengan tokoh-tokoh revolusioner seperti Blanqui.

Selama di Paris, ia mempelajari teori-teori ekonomi-politik klasik Inggris dari Adam Smith dan David Ricardo, yang menuntunnya menyusun kritik yang sangat tajam atas teori ekonomi yang didasarkan atas pandangan individualistis ini. Doktrin pokok yang terkenal bahwa kesejahteraan seluruh masyarakat akan terjamin dengan membiarkan individu untuk sebebas mungkin mengejar kepentingan dirinya, sebuah pendekatan laissez-faire dalam mencapai kemajuan yang penting dalam kebebasan manusia. Kenyataannya, manusia seperti barang komoditi saja di dalam pasar, yang tenaganya diperjualbelikan seperti komoditi lainnya tanpa melihat kebutuhan manusiawi mereka yang terlibat dalam proses produksi. Penghitungannya yang sangat teliti atas upah yang diterima para buruh berada jauh dibawah nilai yang seharusnya diterima, membawanya pada kesimpulan bahwa sistem ekonomi (yang dinamianya kapitalis) telah melakukan penghisapan yang nyata kepada para buruh, dan menjadikan buruh hidup dibawah kelayakan, sebaliknya para majikan yang memiliki modal hidup memperoleh hasil yang jauh diatas jerih payahnya. Landasan dasar perbedaan kepemilikan modal inilah yang mengantarkan lahirnya perbedaan di dalam economic possesion, yang menyebabkan munculnya perbedaan dalam masyarakat yang ditandai oleh perbedaan kelas, status dan prestis. Dalam masyarakat kapitalis ini, Marx memperkenalkan pengelompokkan sosial masyarakat dalam kelas proletariat sebagai kelas yang tidak memiliki modal.untuk hidup mereka menjual tenaganya kepada para pemilik modal (yang disebutnya kelas kapitalis) dalam pabrik-pabrik yang dimiliki para pemodal. Kritik filosofis mengenai ekonomi politik, Marx menunjuk bahwa penerapan hukum penalaran dan permintaan dalam ekonomi yang bersifat impersonal itu mengurangi upah kerja sampai ke tingkat di mana kaum buruh hanya dapat sekedar mempertahankan hidup dengan bekerja dalam jumlah jam sejumlah berapapun. Sebagai sumber nilai pakai, buruh merupakan sumber kegiatan yang dipakai untuk produksi suatu barang, sebagai sumber nilai tukar buruh dilihat sebagai masukan umum untuk proses produksi komoditi-komiditi yang dihasilkan yang tidak untuk kegunaan probadi buruh itu sendiri atau pun majikan, tetapi untuk dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, untuk ditukarkan dengan uang. Buruh itu dilihat dalam sistem kapitalis sebagai komoditi untuk diperjualbelikan dalam pasar impersonal, seperti setiap komoditi lainnya. Namun, buruh mampu memproduksikan nilai tukar lebih banyak daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai tukarnya sendiri. Artinya seorang buruh mampu memproduksi barang dalam jumlah yang lebih banyak dari sekdar untuk kebutuhan pemenuhan kebutuahn dirinya. Tambahan kemampuan produksi tiap-tiap buruh ini merupakan nilai surplus. Dalam situasi seperti ini, buruh juga mengalami alienasi yang merupakan akibat langsung hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya.

Mungkin peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di Paris adalah perkawanannya dengan Friedrich Engels, yang secara langsung memberikan informasi secara langsung mengenai gaya hidup borjuis dan juga kondisi proletariat. Ia mempertajam komitmen dan visi sosialnya dengan filsafat materialis yang diperolehnya dari diskusi panjang dengan kawan setianya Engels. Mengambil sari dari pemikiran-pemikiran alam; terutama kimia, dan evolusi Darwin, Marx mengambil hukum-hukum gerak materi ke dalam model kehidupan sosial masyarakat.dari sini Marx mmulai membuang gagasan idealis dan menggantikannya dengan filsafat materialisnya. Dengan pandangan ini, Marx memusatkan perhatiannya kepada kenyataan sosial dari cara orang menyesuaikan diri dengan lingkungan fisiknya, dan melihat hubugan-hubungan sosial yang muncul dari penyesuaian ini. Individu terpaksa mengubah lingkungan materiilnya melalui kegiatan produktif untuk bertahan hidup dan memenuhi berbagai kebutuhannya. Hanya saja alat-alat produksi tidak tersebar secara merata di kalangan anggota masyarakat. Ini berarti mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi harus menjalin hubungan sosial dengan mereka yang tidak memiliki. Hasilnya berupa diferensiasi anggota-anggota masyarakat dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Totalitas hubungan-hubungan produksi yang bermacam-macam, bersama dengan alat-alat (atau cara) produksi yang bersangkutan, membentuk struktur ekonomi masyarakat. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai basis struktur, yang menentukan susunan masyrakat. Seperti norma, nilai, kehidupan keagamaan bahkan negara yang merupakan superstruktur lahir pula dan berkembang sebagai wujud orang menyesuaikan dengan kehidupan ekonominya. Cara di dalam orang (yang selalau mencerminkan kelas sosialnya) berebut dalam proses penyesuaian dengan lingkungan materiil dan cara produksinya merupakan sumber pokok pertentangan (kontradiksi) yang berlangsung di dalam masyarakat.

Dengan keras, Marx lalu menjelaskan organisasi keagamaan, lembaga-lembaganya (dalam hal ini yang dimaksud Marx adalah Gereja), beserta sistem keyakinannya tentang pahala dihari kelak, dengan demikian merupakan manifestasi bekerjanya kepentingan kelas borjuis dalam menanamkan kesadaran palsu kepada kelas proletar agar dengan demikian menerima kenyataan yang ada. Demikian juga negara, di tatanan masyarakat kapitalis, negara tidak lebih dari sekedar panitia eksekutif yang menjadi kepanjangan tangan mengurusi kepentingan kaum Borjuis, dalam mempertahankan dan menjaga kekayaan dan kekuasaannya.

Diterapkan pada pola-pola perubahan sejarah secara luas, penekanan materialis ini berpusat pada perubahan-perubahan ‘cara’ (mode) atau teknik-teknik produksi material sebagai sumber utama perubahan sosial dan budaya. Hal ini mencakup perkembangan tekonologi baru, penemuan sumber-sumber baru, atau perkembangan baru apapun dalam usaha kegiatan produktif manusia. Perubahan-perubahan seperti itu muncul dari usaha-usaha untuk meningkatkan strategi-strategi yang ada dalam menghadapi lingkungan materilnya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada secara lebih efisien, dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru, yang muncul. Lalu merumuskan hukum-hukum perubahan dan perkembangan sejarah masyarakat. Revolusi industri yang terjadi adalah proses sejarah masyarakat yang merupakan perkembangan dalam pemenuhan kebutuhan. Mekanisasi dan Perkembangan tekonologi juga bagian dari kebutuhan pemenuhan masyarakat itu. Diakui era ini telah melahirkan kelas borjuis yang telah merobek-robek tatanan masyarakat feodal dari tatanan ekonomi, politik, budaya dan sistem pengetahuannya. Ini adalah perkembanagn masyarakat tersendiri, yang mendorongnya melakuakn analisis mundur kebelakang untuk memberikan gambaran masyarakat sebelumnya.

Dalam perjuangan kompetitifnya untuk memperoleh keuntungan, kaum kapitalis menggunakan mesin-mesin baru yang hemat buruh dan efisien yang mampu memperbesar kapsitas produksinya; hal ini akan berakibat merusak keseimbangan antara kapasitas produksi dan permintaaan, dan hasilnya berupa grafik menurun dengan permintaan pasar berkurang, yang berakibat menurunnya keuntungan, berkurangnya investasi, berkurangnya kesempatan kerja, yang mengakibatkan berkurangnya terus permintaan di pasaran, dan seterusnya. Karena spiral ini terus berkembang menurun, akhirnya terciptalah kondisi yang menuju kehancuran sendiri.ini merupakan kontradiksi dasar dalam sistem kapitalis yang dikandung sendiri oleh sistem kapitalis, karena adanya persaingan satu-sama lain kaum kapitalis untuk mengejar keuntungan. Kondisi ini pula yang akan mendorong gerak perubahan revolusioner dengan pengahncuran sisitem kapitalis menuju tatanan masyarakat komunis.

Cara analisis dialektik merupakan inti model bagaimana konflik kelas mengakibatkan perubahan sosial. Perkembangan tahap sejarah tertentu bergantung pada munculnya kekuatan-kekuatan yang akhirnya tidak dapat ditampung dalam struktur di mana mereka ada. Namun gerak sejarah yang bersifat dialektik itu tidak terlepas dari kemaun atau usaha manusia. Sejarah tidak berisi individu yang pasif. Marx menjelaskan bahwa kondisi obyektif adalah kondisi dari potensi konflik yang memang sudah terkandung di dalam tiap-tiap sistem sosial. Dalam masyarakat kapitalis, hubungan anatar kelas kapitalis dan proletasr adalah hubungan konflik dan saling bertentangan. Tetapi tidak begitu saja kondisi ini akan mengarah kepada munculnya konflik dan lahirnya situasi yang revolusioner, namun membutuhkan persyaratan penghubung, seperti kesadaran kelas, kepemimpinan dalam proses perubahan sosial. Hal ini menjadi jelas kiranya bila mengikuti penjelasan Marx dalam suatu kondisi tertentu dimana terjadi kondisi pertumbuhan ekonomi yang grafiknya terus menurun oleh rusaknya perkembangan ekonomi, kaum buruh bersaing satu sama lain untuk memperoleh pekerjaan, hasilnya upah akan ditekan, kesengsaraan kolektif kelas pekerja meningkat dan solidaritas kelasnya menjadi kabur. Artinya sebagai kelas buruh secara obyektif, tidak dengan demikian buruh akan memiliki kesadaran kelas revolusionernya. Oleh karena itu, dalam suatu persyaratan tertentu kesadran kelas buruh secara subyektif menjadi faktor penting dalam proses gerak revolusioner kelas buruh.

B. Teori-Tori Konflik Pasca Marx
Marx meninggal dunia dengan memberikan pekerjaan rumah terbesar bagi para pemikira dan pergerakan revolusioner tentang parktek politik teroi-teori Marx. Lalu Leninlah yang menterjemahkan toeri-teroi Marx dalam praktek politiknya yang membidani revolusi proletar di Rusia, dan berdirinya negara soviet sebagai proyek besar membangun masyarakat dalam tatanan ekonomi sosialis. Teori-teori revolusiner Marx lah yang membuahi terbentuknya Soviet, namun Leninlah yang membidani kelahiran Revolusi Soviet. Dalam perkembanagn berikutnya, teroi-teori Marx mengalami kemandegan seiring terbuai dan kekaguman orang atas prestasi revolusiner nya Soviet. Namun sekaligus melahirkan situasi serba mandeg karena teori-teori Marx tiak lagi bisa dijamah bahkan oleh kepentingan sikap-sikap pengembangan ilmu. Teori Marx dikerubungi pagar-pagar politik yang tidak bisa disentuh karena revolusi telah dimulai.

Baru Nico Poulantzas dan perdebatannya dengan Milliband terutama mengenai negara dan kelas-kelas sosial, menyegarkan kembali perdebatan ilmiah teori-teori Marxis. Berikutnya muncul pemilahan besar dalam tradisi Marxis, antara mereka yang tetap memegang pandangan-pandangan teoritik Marx tertuama teori- tentang kelas, yang dikelompokkan sebaga mature marx atau marx Ortodox, yang diwakili oleh Althuser, dengan neo Marx, atau kiri baru, yang diwakili oleg Ralp Dahrendorf.

Perdebatan Miliband dan Nico Poulantzas menyangkut bagaimana kelas borjuis telah berhasil mengendalikan negara. Miliband menguraikan bahwa kelas borjuis telah mengendalikan negara karena latar –belakang sosial dan afiliasi yang sama, dan karenanya mempunyai ideologi yang sama, yang mendukung kapitalis. Sementara Poulantzas menolaknya dengan mengatakan bahwa negara itu mendukung kapitalis semata-mata karena logika sistem kapitalis yang berlaku.

Namun perdebatan yang membuka wacana ilmiah baru di kalangan marxis adalah perdebatan mengenai teori-teori kelas. Permasalahan baru yang disaksikan oleh mereka adalah kenyataan semakin meluasnya dan besarnya jumlah buruh, semakin terpecah-pecah dalam segmentasi-segmentasi, kelompok-kelompok, juga munculnya kelompok-kelompok baru seperti kaum profesional yang jumlahnya juga semakin besar. Secara umum, konsep Marx mengenai kelas yang akan terus terpolarisasi ke dalamkelas proletar dan kelas borjuis seiring perkembangn kapitalisme, mulai diangkat menjadi perdebatan. Perdebatan mereka berputar disekitar model dua kelas atau tiga kelas dari Marx. Bahwa dengan menggunakan kelas dua kelas atau tiga kelas, sesungguhnya keberadaan kelas-kelas lainnya bisa dirumuskan. Dalam hal ini teoritisi Marxis tetap menggunakan analisis kelas sebagai pendekatan penting dalam merumuskan dan membaca gerak perubahan. Muncul pertanyaan, bagaimana buruh yang tidak saling berkomunikasi, apakah juga bisa disebut sebagai sebuah kelas. Dari perdebatan ini muncul E.P Thompson yang menjelaskan bahwa kelas bukanlah sebuah kategori jumlah, kelas juga menyertakan sejarah pembentukan dan pengalaman konflik bersama, yang bisa disosialisaikan atau diwariskan bahkan antar generasi.

Kehadiran Ralph Dahrendorf lebih memberi angin perdebatan yang lebih terbuka mengenai teori-teori Marx. Dahrendorf mengawali dengan pemahaman bahwa teori Marx mengenai kelas pada dasarnya lebih bersifat heuristik, dalam pengertian Marx sendiri memberi peluang pada segi-segi tertentu secara metodologis untuk terus mengembangkan teorinya agar lebih aktual dalam praksis politik. Dahrendorf bermaksud membuka ruang perdebatan baru ketika kondisi perburuhan semakin kompleks dengan semakin banyaknya kelompok-kelompok profesional, juga pertambahan jumlah buruh yang terus membesar. Namun Dahrendorf menemukan semakin kaburnya batas-batas kelas seperti yang terumuskan dalam teori-teori Marx. Ini mendorongnya memeriksa kedudukan ilmiah teori-teori Marx pada unsur-unsur sosiologis hingga unsur-unsur filosofisnya.

Dari haisl pemeriksaan pada teori-teori Marx, dan kajiannya pada perkembangan masyarakat industri yang ia saksikan, Dahrendorf merumuskan beberapa hal, yang berisi penolakan beberapa teori marx, namun beberapa teori yang lain dipertahankannya. Ia mempertahankan pendekatan Marx mengenai pertentangan kelas dan perubahan sosial, namun ia menolak pertentangan kelas sebagai keyakinan ‘ilmiah’ munculnya revolusi, juga pendekatan mengenai kelas-kelas dan pertentangan kelas. Berikutnya Dahrendorf menggantikan konsep kelas dengan kelompok kepentingan, yang nyata dan semu, yang saling bertarung memperjuangkan kepentingan-kepentingannya baik yang nyata maupun yang semu. Setidaknya ini merupakan jalan keluar Dahrendorf setelah penolakannya atas konsep kelas, pertentangan kelas. Ini konsisten dengan temuan Dharendorf mengenai kekaburan batas-batas kelas yang semakin nampak. Dari sini Dahrendorf mulai merumuskan kekuasaan dan wewenang, sebagai hasil dari pertarungan kepentingan antar kelompok-kelompok, konsep ini seiring dengan konsep Marx mengenai dominasi kelas-kelas tertentu dalam pertarungan kepentingan di dalam struktur sosial yang berbasiskan pertarungan ekonomi. Pertarungan antar kelompok-kelompok kepentingan ini dalam pengertian Dahrendorf telah melahirkan kekuasaan dan wewenang dari kelompok-kelompok yang memenangkan pertarungan.
Oleh Hendri Ansori
Prakata
Jika kita akan melakukan analisa sosial, secara garis besar yang harus dipahami adalah tahapan tahapan yang tepat antara lain: pertama, unit analisa apa yang sedang kita amati, unit analisa disini konteksnya yang akan kita bicarakan, apakah masyarakat, individu, budaya, ekonomi, atau system politik. Dengan mengetahui unit analisa tersebut kita dapat memfokuskan pada satu unit saja, berikutnya kita harus menggunakan satu disiplin ilmu yang khusus menganalisa unit tersebut dan menempatkan disiplin ilmu tersebut sebagai alat analisa, sehingga kita tidak terjebak ke dalam konsep analisa yang menyesatkan.
Kedua, mengambil paradigma tertentu, paradigma dalam ilmu-ilmu social ,erupakan kesatuan cara pandang atau teori-teori dalam menganalisa unit sosial, semisal paradigma yang mengambil unit analisa struktur sosial masyarakat tentunya kita akan menggunakan paradigma strukturalis, dimana paradigme structural sendiri terdiri dari dua golongan yaitu struktural fungsionalis dan struktural konflik. Paradigma yang lain yaitu, tingkat individu, paradigma inter personal, paradigma yang pertama banyak digunakan oleh ilmuan psikologi, sedangkan yang kedua tersebut digunakan oleh psikolog social, atau sosiologi inter personal.
Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai paradigma struktural Fungsionalis maupun konflik, tujuannya tidaklain adalah untuk menjadikan panduan berfikir atau sebagai pisau analisa untuk membaca realitas sosial.

Tentang Struktural Fungsionalis
Salah satu paradigma yang dominan dalam sosiologi sebagai alat analisa adalah pendekatan struktural fungsionalis, sebelum kita mengenal lebih dekat paradigma tersebut, akan lebih mudah jika kita memahami konteks social lahirnya paradigma tersebut.
Pada abad ke 18, di prancis semenjak tumbangnya kekaisaran raja louis XVI dengan dijatuhkannya penjara bestile oleh para budak, petani kecil, dan para borjuis, kondisi masyarakat prancis semakin tidak teratur, runtuhnya system yang Monarki dan penataan masyarakat yang feodalistik, hal ini ditambah dengan munculnya borjuis dengan industri-industri baru, yang menggantikan Guilde yang merupakan industri abad ke 15. mereka melakukan suatu perubahan dengan menggantikan tatanan social feodalistik tersebut.
Ditengah kondisi sosio-politik yang tidak teratur tersebut, August Comte menyususn formulasi Metodologi untuk mengamati realitas social di prancis waktu itum dengan meyakini bahwa bandul sejarah tidak dapat diputar ulang, artinya masyarakat yang stabil dan harmonis di zaman monarki Feodalistik tidak dapat dikontruksi, sejarah terus melaju tanpa diketahui benar masyarakat apa yang sedang dihadapinya.
Kemudian dia mengajukan suatu pendapat bahwa ilmu-ilmu social haruslah seperti ilmu-ilmu alam yang ketat atau dengan kata lain ilmu social haruslah mengikuti metodologi ilmu-ilmu alam, mulai dari melihat realitas atau kenyataan social maupun sampai merumuskan hokum-hukum yang melandasi realitas tersebut. Bagi Comte, ilmu social adalah fisika social, ini berarti realitas social memiliki dengan realitas obyek alam, sehingga ilmu social harus memandang realitas social sebagai obyek serta bersikap bebas nilai untuk menunjang obyektifitas suatu realitas dan bias diukur atau dikuantifikasikan untuk dapat diramalkan hokum-hukum social yang melandasi terjadinya realitas tersebut.
Metodologi yang diuraikan diatas disebut sebagai Positifistik netode positif menjadi tren baru dalam menganalisa kondisi social masyarakat, atas usahanya dalam meletakkan nilai-nilai keilmiahan dalam ilmu social ini adalah August Comte yang disebut bapak Sosiologi.
Salah satu murid August Comte yang berjasa memasukkan Sosiologi sebagai disiplin ilmu dan menempatkan sosiologi di tempat yang layak dalam Universitas adalah Emile Durkhaim. Sumbangannya yang bermanfaat bagi analisa social adalah penjelasan mengenai apa itu Fakta?. fakta menurutnya merupakan segala sesuatu yang berada di luar manusia. Fakta bersifat obyektif, manusia tidak akan menemukan obyektifitas fakta apabila tidak melepaskan subyektifitas pribadinya, ini berarti untuk menemukan fakta yang obyektif, manusia harus netral, tidak boleh berasumsi pribadi, hal inilah yang disebut dengan bebas nilai. Ketiadaan bebas nilai dalam memandang fakta akan berakibat mendistorsi fajta itu sendiri dan menyeret fakta yang obyektif ke dalam tafsiran-tafsiran subyektif manusia.
Beberapa karya terutama milik durkheim dalam sosiologi adalah analisanya mengenai bunuh diri (suicide) yang marak pada masyarakat eropa. Masyarakat baru yang ‘kapitalistik’ (definisi Marx untuk masyarakat yang kapital) dicirikan dengan semakin banyaknya buruh-buruh di pabrik dan semakin banyaknya budak bebas yang kemudian mangadu nasib ke pusat-pusat industri, tifak seimbangnya jumlah industri yang sedang bergeliat dengan kebutuhan pekerja dan jumlah tenaga pekerja, menyebabkan pengangguran disana-sini. Nasib yang tidak baik di masyarakat barupun terjadi di sector industri, karena mengimbangi permintaan yang semakin meningkat, para pemiliki modal meningkatkan jumlah produksinya, konsekwensinya jam kerja buruh harus ditingkatkan, mempekerjakan anak-anak dibawh umur atau perempuan dan menekan upah buruh seminim mungkin.
Selain itu masyarakat baru tersebut mengoyak tatanan sosial yang sidah mapan, system kasta, jalur kekerabatan mulai luntur. Kondisi masyarakat baru yang semakin tidak menentu tersebut, tidak adanya harapan dan kepastian hidup membuat sebagian masyarakat mengalami anomie dan mengakibatkan stress yang berkepanjangan yang pada gilirannya menimbulkan bunuh diri yang semakin marak di masyarakat eropa saat itu.
Bagi durkhaim, individu-individu yang tidak bisa survive dalam masyarakat baru tersebut pasti akan mengalami anomie dan patologis, individu tersebut mengganggu fungsi harmonisasi masyarakat. Dan tawaran dia atas kondisi ini adalah dibentuknya suatu pranata atau lembaga yang bertugas untuk menyediakan ruang-ruang pendidikan supaya individu yang anomie dapat dididik agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu menciptakan harmonisasi dalam masysarakat.
Melengkapi penjelasan structural-fungsionalis, Herbert Spencer seorang ilmuan social asal Inggris, mengatakan bahwa pada dasarnya msyarakat tersusun dalam suatu system social yang bekerja seperti organisme biologis, organ-organ tubuh memiliki fungsi-fungsi sendiri sesuai dengan posisi masing-masing yang saling bekerja secara harmoni, semisal pada suatu ketika, mata kita melihat gadis cantik, saraf mentransfer ke otak dan otak bekerja menganalisa dan mengirimkan hasilnya kepada saraf yang dimulut dan kita mengatakan “Aduh…Cantiknya”. Begitu pula system social, individu-individu sebagai actor memiliki posisi-posisi dalam masyarakat dan melakukan fungsi-fungsi yang sesuai dengan posisi tersebut. Hubungan-hubungan actor-aktor tersebut yang menciptakan struktur social.
Salah satu contoh dalam struktur masyarakat kapitalistik, buruh memiliki fungsi bekerja di pabrik untuk menghasilkan barang –barang produksi, pemiliki pabrik sebagai pemilik modal yang bertugas memutar surplus untuk diinvestasikan lagi, petani bertugas menyuplai barang atau bahan baku, rantai hubungan antara fungsi ini mencerminkan masyarakat yang kapitalistik.
Penjelasan yang mutahir mengenai structural-fungsionalis adalah seperti yang dirumuskan oleh talcott parson dalam bukunya yang terkenal Theory Sosial Action, dalam buku tersebut dia menjelaskan bahwa tindakan manusia dalam struktur social yang hidup, yakni adanya saling keterkaitan antara bagian-bagian yang merupakan system itu dan mencakup pertukaran dengan lingkungan, dan mempunyai ciri umum, yakni prasyarat dan fungsional imperative. Secara deduktif Talcott Parson mengatakan terdapat 4 kebutuhan fungsional , antara lain; latent pattern-maintenance (L) sbsistem budaya, integration (I) subsistem social, goal attainment (G) subsistem kepribadian, Adaptation (A) subsistem organisme perilaku, (Soeprapto, 2002). Adapun hubungan fungsional tersebut dapat dilihat dari bagian berikut.

Setiap gerak social adalah suatu system yang mencakup subsistem-subsistem tertentu yaitu budaya, kepribadian, social, dan organisme perilaku (Soeprapto, 2002)

Struktural konflik
Teori-teori structural konflik ini diidentikkan dengan karl Marx. Asumsi ini tidak kemudian menganggap bahwa mMarx-lah yang menciptakan teori structural konflik ini. Memang benar, Marx tidak pernah menyusun suatu argumentasi bahwa teori-teori yang dihasilkan berparadigmakan structural konflik, dan bahkan dia tidak pernah menganggap dirinya seorang strukturalis konflik. Namun, setelah Marx meninggal, para pemikir-pemikir Marxis-lah yang kemudian menyebut bahwa teri-teori Marx berparadigmakan strukturalis konflik dan mereka yang menyebut dirinya marxis memiliki paradigma strukturalis konflik.
Dimulai oleh Karl Marx dan rekan sejawatnya Fredrich Engels dalam tulisan mereka Communist Manifesto yang mencoba menganalisa hokum-hukum perkembangan masyarakat semenjak zaman komunisme purba, berburu, berladang, bertani, hingga zaman capital. Dalam menganalisa perkembangan masyarakat tersebut, mereka menemukan bahwa dalam suatu perkembangan masyarakat terjadi dan melewati kontradiksi yang disebut revolusi, yang pada kontradiksi tersebut memutasi kuantitas menuju kualitas yang menjadi embrio dan akan melahirkan masyarakat baru yang berbeda sama sekali dengan masyarakat sebelumnya. Prasyarat melahirkan masyarakat baru tersebut, sudah terkandung dalam masyarakat lama dan menunggu fragmentasi kelas tertindas untuk melawan kelas penindas.
Marx dewasa dalam alam yang kacau dan belum diketahui betul masyarakat apa yang sedang dihadapinya, dia hidup sezaman dengan Durkhaim, namun memiliki perbedaan yang khas dalam cara pandang untuk melihat masyarakat. Marx merupakan seorang Sarjana Ekonomi dan Doktornya pada keahlian Filsafat dan dia dididik dalam khasanah Jerman yang memiliki tradisi keilmuan History (Historis) yang gagasan besar keilmuan tersebut, bahwa suatu kejadian memiliki runtutan sejarah dengan kondisi sebelumnya, secara sederhananya suatu kejadian tidak berada dalam ruang dan waktu yang hampa, kejadian yang merupakan suatu hasil dari dialektika yang terjadi dikarenakan unteraksi anatar factor atau unsure yang saling berhubungan.
Progresifitas dalam memandang masyarakat yang berarti masyarakat akan mengalami perkembangan atau evolusi kearah yang lebih maju dari masyarakat sebelumnya, tidak dipungkiri hal ini merupakan sumbangan dari positivisme Prancis. Pada abad 18 di prancis berkembang aliran-aliran sosialisme, dari sini pula Marx berkenalan dengan beragam aliran sosialisme mulai dari yang utopis, idealis maupun aliran sosialisme yang lain.
Perpaduan Materialisme, Historis German, dan Positivisme prancis serta realitas masyarakat baru yang dilihat oleh Marx. Industri-industri baru hanya mengeruk keuntungan bagi pemilik pabrik, camp-camp buruh yang tidak layak huni, mempekerjakan anak-anak dan perempuan, jam kerja yang tidak manusiawi, kesehatan yang tidak terjamin serta upah buruh yang rendah membawanya untuk melihat ke dalam masyarakat baru tersebut.
Penemuannya mengenai surplus value atau teorinya mengenai nilai lebih, membongkar realitas masyarakat baru yang kemudian diberi nama Masyarakat Kapitalis. Surplus value sederhananya, merupakan harga suatu produk sama dengan (=) teknologi ditambah (+) barang modal ditambah (+) upah buruh, harga yang diproduksi berbeda dengan harga yang dijual ke pasar, ini artinya terdapat profit, keuntungan inilah yang kemudian tidak dibagi secara merata dengan para buruh, tetapi terakumulasikan ke tangan pemilik pabrik (alat produksi).
Pencurian secara sitematis inilah, yang bagi Marx menjadi kontradiksi pokok dalam masyarakat kapitalis, penindasan yang semakin tersistematis pada buruh dengan akumulasi yang semakin besar pada pemilik modal, yang pada waktunya menciptakan fragmentasi yang secara tegas membedakan kelas0kelas dalam masyarakat, yaitu kelas kapitalis dengan kelas buruh (proletar).
Masyarakat kapitalistik menciptakan tatanan superstruktur (ideology, budaya, system nilai, agama, hokum, ilmu, dan lain-lain). Yang meng-Alienasi (bahasa Durkhaim Anomie) individu-individu, artinya kelas capital menciptakan seperangkat ideology yang meninabobokkan kesadaran kritis masyarakat, kelas penindas tersebut sangatlah canggih menciptakan kesadaran palsu pada buruh. Jadi disini, beda antara Marx dengan Durkhaim, bahwa alienasi atau anomie atau patologis, bagi Marx tidak disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk survive, tapi kondisi structural masyarakat kapitalis-lah yang menyebabkan semua itu, masyarakat kapitalis-lah yang sakit dan perlu dirubah.
Baginya membuka tabir kesadaran palsu akan membuka kesadaran kritis buruh atas kondisi social yang dialaminya dan akan menciptakan fragmentasi kelas yang permanent dalam masyarakat kapitalistik tersebut akan tumbang dan digantikan oleh masyarakat yang sosialistik, jika terjadi revolusi yang dipimpin oleh kelas proletar dan melakukan penguasaan atas alat produksi, serta membagi secara adil dan merata keuntungan dari hasil produksinya.
Dari ulasan mengenai cara pandang Marx terhadap masyarakat kapitalis, Marx melihat secara structural bagaimana masyarakat kapitalis terbagi dalam fungsi-fungsi dari posisi yang ditempati oleh buruh atau kapitalis, namun pembagian posisi tersebut menguntungkan satu kelas dan merugikan kelas yang lainnya. Kondisi inilah yang secara structural akan menciptakan konflik yang permanent dalam masyarakat kapitalistik. Konflik tersebut akan terselesaikan jika kelas yang tertindas (proletar) memegang kendali atas penguasaan alat produksi.

Penutup
Dalam akhiran kata ini, akan sedikit disimpulkan bagi para aktivis mahasiswa, yang akan melakukan analisa masyarakat, seperti yang telah ditulis lebih awal, paradigma ini hanya sebagai microskop, sebagai kaca mata, atau panduan untuk melihat masyarakat. Tentunya, yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, panduan tersebut adalah metodologi bukan hasil yang ditulis Augusty Comte, Emeil Durkhaim, ataupun Karl Marx.
Konteks Historis, structural masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Eropa saat pemikir social itu hidup maupun saat ini. Analog microskop bagi metodologi sangatlah tepat, semisal kita menggunakan microskop/strukturalk konfliknya Marx untuk menganalisa kondisi masyarakat Indonesia. Tentunya, perbedaan kondisi materi (kondisi social, politik, ekonomi, maupun budaya) semasa Marx hidup dengan zaman kita sekarang, maka tentunya akan menciptakan perbedaan hasil analisa pula. Jika, kita membaca hasil yang dirumuskan oleh Marx untuk membaca kondisi masyarakat sekarang tentunya akan terjadi kesesatan berfikir, dan tentunya jika dengan hasil kita menganalisa maysarakat, tentunya kita bukan seorang Marxis !!!.
Selamat belajar ….!
Terima kasih …!

Site Info


Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Add to netvibes


Subscribe in Bloglines