Oleh Hendri Ansori
Prakata
Jika kita akan melakukan analisa sosial, secara garis besar yang harus dipahami adalah tahapan tahapan yang tepat antara lain: pertama, unit analisa apa yang sedang kita amati, unit analisa disini konteksnya yang akan kita bicarakan, apakah masyarakat, individu, budaya, ekonomi, atau system politik. Dengan mengetahui unit analisa tersebut kita dapat memfokuskan pada satu unit saja, berikutnya kita harus menggunakan satu disiplin ilmu yang khusus menganalisa unit tersebut dan menempatkan disiplin ilmu tersebut sebagai alat analisa, sehingga kita tidak terjebak ke dalam konsep analisa yang menyesatkan.
Kedua, mengambil paradigma tertentu, paradigma dalam ilmu-ilmu social ,erupakan kesatuan cara pandang atau teori-teori dalam menganalisa unit sosial, semisal paradigma yang mengambil unit analisa struktur sosial masyarakat tentunya kita akan menggunakan paradigma strukturalis, dimana paradigme structural sendiri terdiri dari dua golongan yaitu struktural fungsionalis dan struktural konflik. Paradigma yang lain yaitu, tingkat individu, paradigma inter personal, paradigma yang pertama banyak digunakan oleh ilmuan psikologi, sedangkan yang kedua tersebut digunakan oleh psikolog social, atau sosiologi inter personal.
Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai paradigma struktural Fungsionalis maupun konflik, tujuannya tidaklain adalah untuk menjadikan panduan berfikir atau sebagai pisau analisa untuk membaca realitas sosial.

Tentang Struktural Fungsionalis
Salah satu paradigma yang dominan dalam sosiologi sebagai alat analisa adalah pendekatan struktural fungsionalis, sebelum kita mengenal lebih dekat paradigma tersebut, akan lebih mudah jika kita memahami konteks social lahirnya paradigma tersebut.
Pada abad ke 18, di prancis semenjak tumbangnya kekaisaran raja louis XVI dengan dijatuhkannya penjara bestile oleh para budak, petani kecil, dan para borjuis, kondisi masyarakat prancis semakin tidak teratur, runtuhnya system yang Monarki dan penataan masyarakat yang feodalistik, hal ini ditambah dengan munculnya borjuis dengan industri-industri baru, yang menggantikan Guilde yang merupakan industri abad ke 15. mereka melakukan suatu perubahan dengan menggantikan tatanan social feodalistik tersebut.
Ditengah kondisi sosio-politik yang tidak teratur tersebut, August Comte menyususn formulasi Metodologi untuk mengamati realitas social di prancis waktu itum dengan meyakini bahwa bandul sejarah tidak dapat diputar ulang, artinya masyarakat yang stabil dan harmonis di zaman monarki Feodalistik tidak dapat dikontruksi, sejarah terus melaju tanpa diketahui benar masyarakat apa yang sedang dihadapinya.
Kemudian dia mengajukan suatu pendapat bahwa ilmu-ilmu social haruslah seperti ilmu-ilmu alam yang ketat atau dengan kata lain ilmu social haruslah mengikuti metodologi ilmu-ilmu alam, mulai dari melihat realitas atau kenyataan social maupun sampai merumuskan hokum-hukum yang melandasi realitas tersebut. Bagi Comte, ilmu social adalah fisika social, ini berarti realitas social memiliki dengan realitas obyek alam, sehingga ilmu social harus memandang realitas social sebagai obyek serta bersikap bebas nilai untuk menunjang obyektifitas suatu realitas dan bias diukur atau dikuantifikasikan untuk dapat diramalkan hokum-hukum social yang melandasi terjadinya realitas tersebut.
Metodologi yang diuraikan diatas disebut sebagai Positifistik netode positif menjadi tren baru dalam menganalisa kondisi social masyarakat, atas usahanya dalam meletakkan nilai-nilai keilmiahan dalam ilmu social ini adalah August Comte yang disebut bapak Sosiologi.
Salah satu murid August Comte yang berjasa memasukkan Sosiologi sebagai disiplin ilmu dan menempatkan sosiologi di tempat yang layak dalam Universitas adalah Emile Durkhaim. Sumbangannya yang bermanfaat bagi analisa social adalah penjelasan mengenai apa itu Fakta?. fakta menurutnya merupakan segala sesuatu yang berada di luar manusia. Fakta bersifat obyektif, manusia tidak akan menemukan obyektifitas fakta apabila tidak melepaskan subyektifitas pribadinya, ini berarti untuk menemukan fakta yang obyektif, manusia harus netral, tidak boleh berasumsi pribadi, hal inilah yang disebut dengan bebas nilai. Ketiadaan bebas nilai dalam memandang fakta akan berakibat mendistorsi fajta itu sendiri dan menyeret fakta yang obyektif ke dalam tafsiran-tafsiran subyektif manusia.
Beberapa karya terutama milik durkheim dalam sosiologi adalah analisanya mengenai bunuh diri (suicide) yang marak pada masyarakat eropa. Masyarakat baru yang ‘kapitalistik’ (definisi Marx untuk masyarakat yang kapital) dicirikan dengan semakin banyaknya buruh-buruh di pabrik dan semakin banyaknya budak bebas yang kemudian mangadu nasib ke pusat-pusat industri, tifak seimbangnya jumlah industri yang sedang bergeliat dengan kebutuhan pekerja dan jumlah tenaga pekerja, menyebabkan pengangguran disana-sini. Nasib yang tidak baik di masyarakat barupun terjadi di sector industri, karena mengimbangi permintaan yang semakin meningkat, para pemiliki modal meningkatkan jumlah produksinya, konsekwensinya jam kerja buruh harus ditingkatkan, mempekerjakan anak-anak dibawh umur atau perempuan dan menekan upah buruh seminim mungkin.
Selain itu masyarakat baru tersebut mengoyak tatanan sosial yang sidah mapan, system kasta, jalur kekerabatan mulai luntur. Kondisi masyarakat baru yang semakin tidak menentu tersebut, tidak adanya harapan dan kepastian hidup membuat sebagian masyarakat mengalami anomie dan mengakibatkan stress yang berkepanjangan yang pada gilirannya menimbulkan bunuh diri yang semakin marak di masyarakat eropa saat itu.
Bagi durkhaim, individu-individu yang tidak bisa survive dalam masyarakat baru tersebut pasti akan mengalami anomie dan patologis, individu tersebut mengganggu fungsi harmonisasi masyarakat. Dan tawaran dia atas kondisi ini adalah dibentuknya suatu pranata atau lembaga yang bertugas untuk menyediakan ruang-ruang pendidikan supaya individu yang anomie dapat dididik agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu menciptakan harmonisasi dalam masysarakat.
Melengkapi penjelasan structural-fungsionalis, Herbert Spencer seorang ilmuan social asal Inggris, mengatakan bahwa pada dasarnya msyarakat tersusun dalam suatu system social yang bekerja seperti organisme biologis, organ-organ tubuh memiliki fungsi-fungsi sendiri sesuai dengan posisi masing-masing yang saling bekerja secara harmoni, semisal pada suatu ketika, mata kita melihat gadis cantik, saraf mentransfer ke otak dan otak bekerja menganalisa dan mengirimkan hasilnya kepada saraf yang dimulut dan kita mengatakan “Aduh…Cantiknya”. Begitu pula system social, individu-individu sebagai actor memiliki posisi-posisi dalam masyarakat dan melakukan fungsi-fungsi yang sesuai dengan posisi tersebut. Hubungan-hubungan actor-aktor tersebut yang menciptakan struktur social.
Salah satu contoh dalam struktur masyarakat kapitalistik, buruh memiliki fungsi bekerja di pabrik untuk menghasilkan barang –barang produksi, pemiliki pabrik sebagai pemilik modal yang bertugas memutar surplus untuk diinvestasikan lagi, petani bertugas menyuplai barang atau bahan baku, rantai hubungan antara fungsi ini mencerminkan masyarakat yang kapitalistik.
Penjelasan yang mutahir mengenai structural-fungsionalis adalah seperti yang dirumuskan oleh talcott parson dalam bukunya yang terkenal Theory Sosial Action, dalam buku tersebut dia menjelaskan bahwa tindakan manusia dalam struktur social yang hidup, yakni adanya saling keterkaitan antara bagian-bagian yang merupakan system itu dan mencakup pertukaran dengan lingkungan, dan mempunyai ciri umum, yakni prasyarat dan fungsional imperative. Secara deduktif Talcott Parson mengatakan terdapat 4 kebutuhan fungsional , antara lain; latent pattern-maintenance (L) sbsistem budaya, integration (I) subsistem social, goal attainment (G) subsistem kepribadian, Adaptation (A) subsistem organisme perilaku, (Soeprapto, 2002). Adapun hubungan fungsional tersebut dapat dilihat dari bagian berikut.

Setiap gerak social adalah suatu system yang mencakup subsistem-subsistem tertentu yaitu budaya, kepribadian, social, dan organisme perilaku (Soeprapto, 2002)

Struktural konflik
Teori-teori structural konflik ini diidentikkan dengan karl Marx. Asumsi ini tidak kemudian menganggap bahwa mMarx-lah yang menciptakan teori structural konflik ini. Memang benar, Marx tidak pernah menyusun suatu argumentasi bahwa teori-teori yang dihasilkan berparadigmakan structural konflik, dan bahkan dia tidak pernah menganggap dirinya seorang strukturalis konflik. Namun, setelah Marx meninggal, para pemikir-pemikir Marxis-lah yang kemudian menyebut bahwa teri-teori Marx berparadigmakan strukturalis konflik dan mereka yang menyebut dirinya marxis memiliki paradigma strukturalis konflik.
Dimulai oleh Karl Marx dan rekan sejawatnya Fredrich Engels dalam tulisan mereka Communist Manifesto yang mencoba menganalisa hokum-hukum perkembangan masyarakat semenjak zaman komunisme purba, berburu, berladang, bertani, hingga zaman capital. Dalam menganalisa perkembangan masyarakat tersebut, mereka menemukan bahwa dalam suatu perkembangan masyarakat terjadi dan melewati kontradiksi yang disebut revolusi, yang pada kontradiksi tersebut memutasi kuantitas menuju kualitas yang menjadi embrio dan akan melahirkan masyarakat baru yang berbeda sama sekali dengan masyarakat sebelumnya. Prasyarat melahirkan masyarakat baru tersebut, sudah terkandung dalam masyarakat lama dan menunggu fragmentasi kelas tertindas untuk melawan kelas penindas.
Marx dewasa dalam alam yang kacau dan belum diketahui betul masyarakat apa yang sedang dihadapinya, dia hidup sezaman dengan Durkhaim, namun memiliki perbedaan yang khas dalam cara pandang untuk melihat masyarakat. Marx merupakan seorang Sarjana Ekonomi dan Doktornya pada keahlian Filsafat dan dia dididik dalam khasanah Jerman yang memiliki tradisi keilmuan History (Historis) yang gagasan besar keilmuan tersebut, bahwa suatu kejadian memiliki runtutan sejarah dengan kondisi sebelumnya, secara sederhananya suatu kejadian tidak berada dalam ruang dan waktu yang hampa, kejadian yang merupakan suatu hasil dari dialektika yang terjadi dikarenakan unteraksi anatar factor atau unsure yang saling berhubungan.
Progresifitas dalam memandang masyarakat yang berarti masyarakat akan mengalami perkembangan atau evolusi kearah yang lebih maju dari masyarakat sebelumnya, tidak dipungkiri hal ini merupakan sumbangan dari positivisme Prancis. Pada abad 18 di prancis berkembang aliran-aliran sosialisme, dari sini pula Marx berkenalan dengan beragam aliran sosialisme mulai dari yang utopis, idealis maupun aliran sosialisme yang lain.
Perpaduan Materialisme, Historis German, dan Positivisme prancis serta realitas masyarakat baru yang dilihat oleh Marx. Industri-industri baru hanya mengeruk keuntungan bagi pemilik pabrik, camp-camp buruh yang tidak layak huni, mempekerjakan anak-anak dan perempuan, jam kerja yang tidak manusiawi, kesehatan yang tidak terjamin serta upah buruh yang rendah membawanya untuk melihat ke dalam masyarakat baru tersebut.
Penemuannya mengenai surplus value atau teorinya mengenai nilai lebih, membongkar realitas masyarakat baru yang kemudian diberi nama Masyarakat Kapitalis. Surplus value sederhananya, merupakan harga suatu produk sama dengan (=) teknologi ditambah (+) barang modal ditambah (+) upah buruh, harga yang diproduksi berbeda dengan harga yang dijual ke pasar, ini artinya terdapat profit, keuntungan inilah yang kemudian tidak dibagi secara merata dengan para buruh, tetapi terakumulasikan ke tangan pemilik pabrik (alat produksi).
Pencurian secara sitematis inilah, yang bagi Marx menjadi kontradiksi pokok dalam masyarakat kapitalis, penindasan yang semakin tersistematis pada buruh dengan akumulasi yang semakin besar pada pemilik modal, yang pada waktunya menciptakan fragmentasi yang secara tegas membedakan kelas0kelas dalam masyarakat, yaitu kelas kapitalis dengan kelas buruh (proletar).
Masyarakat kapitalistik menciptakan tatanan superstruktur (ideology, budaya, system nilai, agama, hokum, ilmu, dan lain-lain). Yang meng-Alienasi (bahasa Durkhaim Anomie) individu-individu, artinya kelas capital menciptakan seperangkat ideology yang meninabobokkan kesadaran kritis masyarakat, kelas penindas tersebut sangatlah canggih menciptakan kesadaran palsu pada buruh. Jadi disini, beda antara Marx dengan Durkhaim, bahwa alienasi atau anomie atau patologis, bagi Marx tidak disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk survive, tapi kondisi structural masyarakat kapitalis-lah yang menyebabkan semua itu, masyarakat kapitalis-lah yang sakit dan perlu dirubah.
Baginya membuka tabir kesadaran palsu akan membuka kesadaran kritis buruh atas kondisi social yang dialaminya dan akan menciptakan fragmentasi kelas yang permanent dalam masyarakat kapitalistik tersebut akan tumbang dan digantikan oleh masyarakat yang sosialistik, jika terjadi revolusi yang dipimpin oleh kelas proletar dan melakukan penguasaan atas alat produksi, serta membagi secara adil dan merata keuntungan dari hasil produksinya.
Dari ulasan mengenai cara pandang Marx terhadap masyarakat kapitalis, Marx melihat secara structural bagaimana masyarakat kapitalis terbagi dalam fungsi-fungsi dari posisi yang ditempati oleh buruh atau kapitalis, namun pembagian posisi tersebut menguntungkan satu kelas dan merugikan kelas yang lainnya. Kondisi inilah yang secara structural akan menciptakan konflik yang permanent dalam masyarakat kapitalistik. Konflik tersebut akan terselesaikan jika kelas yang tertindas (proletar) memegang kendali atas penguasaan alat produksi.

Penutup
Dalam akhiran kata ini, akan sedikit disimpulkan bagi para aktivis mahasiswa, yang akan melakukan analisa masyarakat, seperti yang telah ditulis lebih awal, paradigma ini hanya sebagai microskop, sebagai kaca mata, atau panduan untuk melihat masyarakat. Tentunya, yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, panduan tersebut adalah metodologi bukan hasil yang ditulis Augusty Comte, Emeil Durkhaim, ataupun Karl Marx.
Konteks Historis, structural masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Eropa saat pemikir social itu hidup maupun saat ini. Analog microskop bagi metodologi sangatlah tepat, semisal kita menggunakan microskop/strukturalk konfliknya Marx untuk menganalisa kondisi masyarakat Indonesia. Tentunya, perbedaan kondisi materi (kondisi social, politik, ekonomi, maupun budaya) semasa Marx hidup dengan zaman kita sekarang, maka tentunya akan menciptakan perbedaan hasil analisa pula. Jika, kita membaca hasil yang dirumuskan oleh Marx untuk membaca kondisi masyarakat sekarang tentunya akan terjadi kesesatan berfikir, dan tentunya jika dengan hasil kita menganalisa maysarakat, tentunya kita bukan seorang Marxis !!!.
Selamat belajar ….!
Terima kasih …!


Silahkan Tinggalkan Komentar Dengan Akun Facebook Anda Di Kolom Bawah Ini


0 komentar:

Site Info


Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Add to netvibes


Subscribe in Bloglines