Pada 9 April 2009 tahun lalu, pemilu legislatif usai digelar. Pemilu 2009 memang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 2009 berjalan dalam suasana sangat kompetitif multipartai dan memilih nama caleg. Pemilu dibayangkan mampu menghadirkan kontestan yang dikenal pemilih. Sebagain besar masyarakat bisa mengenal dan berkomunikasi langsung dengan calon-calon anggota parlemen. Semangatnya adalah mendekatkan calon legislative kepada masyarakat serta mengarahkan masyarakat agar melakukan pilihan berdasarkan perhitungan rasional tentang keuntungan atau kerugian yang bakal diperoleh. Hasilnya adalah harapan mengenai legislative yang legitimate, sehingga mampu melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang berbasis kepentingan masyarakat.
Harapan-harapan ini dimungkinkan karena beberapa hal. Menguatnya peran media, semakin membaiknya tingkat pendidikan masyarakat, yang memungkinkan masyarakat semakin rasional di dalam melakukan pilihan-pilihan politik. Pandangan-pandangan politik lama seperti pendekatan Geertz tentang Santri, Priyayi, dan abangan sebagai preferensi pilihan politik tidak mampu memberikan penjelasan perilaku politik masyarakat. Bahwa kepercayaan agama tidak lagi menjadi factor determinan perilaku politik masyarakat. Demikian juga kajian J.Kristiadi mengenai pemilu tahun 1971-1987, yang menghasilkan pandangan bahwa variable panutan menjadi preferensi politik masyarakat perlu dipertimbangkan kembali. Pemilu 2009, sepertinya bergerak dalam keyakinanj
Dalam pemilu 2009 ini, di luar persoalan kemenangan Partai Demokrat yang spektakuler dengan 20,85% perolehan suara, sebagaimana diduga oleh banyak lembaga survey, catatan penting adalah aroma politik uang yang begitu kuat memberi cita rasa pemilu 2009. Siapa yang memberi saya uang lebih banyak, dialah yang saya pilih. Kurang lebih demikianlah cara berpikir para pemilih. Atau sebaliknya para calon anggota legislative yang menyimpulkan bahwa masyarakat memilih hanya karena pertimbangan uang. Apakah pemilu 2009 ini mencerminkan “budaya duit” yang sudah dibayangkan oleh setiap orang. Gambaran di atas dapat begitu saja membuat orang berfikir bahwa tidak banyak lagi makna yang masih tersisa dari pemilu, selain pandangan bahwa masyarakat sedang berada di ujung “zaman daulat duit”.
Secara umum, perilaku politik, khususnya perilaku memilih merupakan fungsi dari sikap atas situasi social, ekonomi, politik dan kepentingan masyarakat. Perilaku politik, merupakan bagian dari tindakan social yang merupakan cermin dari budaya masyarakat.
Sebagai ilustrasi, kita dapat menunjuk pada norma-norma dan symbol-simbol masing-masing kategori sejarah. Dalam kategori tradisional misalnya, norma solidaritas dan partisipasi menjadi ideology. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu dan tradisi lisan yang menunjang ideology itu. Dalam kategori patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti” kita menemukan norma yang melegitimasikan dan berusaha memberikan control negara atas masyarakat dalam bentuk simbolik berupa babad, tabu, mite serta hasil-hasil seni yang mengkeramatkan raja. Dalam kategori kapitalis, dengan munculnya kelas menengah, kita melihat adanya sastra baru dengan cerita-cerita baru. Akhirnya pada kategori teknokratis, kita melihat usaha-usaha untuk menyatakan kekecewaan dengan realisme di satu pihak, dan keinginan untuk menjadikan proses simbolis sebagai usaha untuk “social engineering” di lain pihak.
Sebagai catatan dapat dikemukakan tentang kemungkinan adanya dikotomi budaya di satu kategori dan juga ada gejala anomali budaya pada penghujung tiap kategori sejarah. Dalam masyarakat patrimonial misalnya, akan ada dikotomi social dan budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, symbol dan normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis, kita memiliki dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya popular, dengan lembaga, symbol dan norma-normanya sendiri. Dalam hal ini perlu diingat bahwa sekalipun dikotomi itu ada,ada pula mobilitas budaya, ke atas atau ke bawah yang menyebabkan baik lembaga, symbol, dan normanya tentu saja mengalami transformasi. (pitirim Sorokin)
Kebudayaan menjadi tidak fungsional jika symbol dan normanya tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi social dari budaya itu. Kontradiksi-kontradiksi budaya dapat terjadi sehingga dapat melumpuhkan dasar-dasar sosialnya. Kontradiksi budaya dapat juga timbul karena adanya kekuatan-kekuatan budaya yang saling bertentangan dalam masyarakat.
Thomas Schweitzer membedakan dua pola interaksi yang bercabang di kalangan penduduk desa Jawa Tengah. Cabang pertama terdapat dalam proses produksi, yakni mentalitas individualistic yang ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomis (Schweitzer 1989:304). Cabang yang satunya lagi, terdapat di dalam lingkungan ritual, yaitu semangat komunitas yang didasarkan pada perhitungan resiprositas dan saling memberi yang altruistic (ibid. 305). Dengan argumen yang sama, Robert Hefner (1990:154) juga menemukan mekanisme redistributif dalam pertukaran ritual di kalangan masyarakat Jawa Timur pegunungan tempat aktifitas produksi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan komersial
Model teoritik Geertz tentang tiga pemilahan kategori social masyarakat ala Geertz; santri, priyayi dan abangan sebagai preferensi pilihan politik, harus dipertimbangkan kembali untuk menjelaskan perilaku politik masyarakat sekarang. Apakah kepercayaan terhadap agama masih menjadi factor determinan dalam menjelaskan perilaku politik. Lalu kajian J.Kristiadi pada pemilu tahun 1971-1987, mengungkapkan bahwa variable panutan sangat mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Bahwa preferensi seseorang terhadap partai politik berkaitan erat dengan preferensi orang yang menjadi panutannya. Menurut Kristiadi, Birokrat merupakan panutan masyarakat yang memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan tokoh panutan masyarakat lainnya; yaitu tokoh agama dan tokoh masyarakat, sehingga Golkar yang sebagian besar didukung oleh birokrat selalu memenangkan pemilu di era Orde Baru. Sementara pemberitaan media massa dan struktur social seperti, tingkat pendidikan, stuktur usia, pekerjaan dan tempat tinggal melengkapi penjelasan perilaku pemilih.
Penting dicatat bahwa semangat kemasyarakatan ini bukanlah sisa masa lalu dan juga bukan pelarian dari kehidupan modern. Semangat kemasyarakatan ini adalah rekontruksi dari praktek-praktek kepercayaan-kepercayaaan sehari-hari. Karena kuatnya semangat kemasyarakatan ini saya percaya bahwa semangat ini akan tetap terus bertahan.
Dengan demikian sekarang ini ada norma-norma yang bercabang yang sedang berlangsung sebagian dibangun di atas individualisme dan modernitas, sebagian yang lain dibangun diatas patronase dan, pada beberapa derajat tertentu, di atas semangat komunitas. Hubungan di antara keduanya ditemukan oleh posisi tawar-menawar relatif dari masing-masing wakilnya.
Memang system politik Orde Baru berlaku memberi individualisme pijakan yang kokoh, tetapi hal itu tidak berarti komunitas akan musnah.

Untuk masa mendatang, organisasi politik sudah seharusnya menawarkan ide-ide pembangunan yang dapat dicari akarnya dalam ajaran Islam. Dibutuhkan kemampuan menafsirkan ajaran Islam dalam kehidupan social, ekonomi yang realistis dan pragmatis. Tidak bias hanya mengandalkan ikatan emosi keagamaannya dan sejarah partai Islam.


Silahkan Tinggalkan Komentar Dengan Akun Facebook Anda Di Kolom Bawah Ini


0 komentar:

Site Info


Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Add to netvibes


Subscribe in Bloglines