Semua teori sosiologi dibangun berdasarkan asumsi-asumsi dasar tentang hakikat manusia dan masyarakat. Dalam membangun teori, sosiolog berhadapan dengan berbagai macam pilihan. Asumsi-asumsi dasar tersebut akan sangat berguna untuk ‘memudahkan’ seorang ilmuwan untuk membangun teori. Asumsi-asumsi itu disebut Thomas Kuhn (1970) sebagai paradigma teoritik yaitu, “serangkaian asumsi dasar yang mengarahkan untuk berpikir dan meneliti.”Teori-teori fungsionalisme-struktural, misalnya, dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat sebagai sistem yang kompleks dimana setiap bagian saling berhubungan satu-sama lain demi sebuah kestabilan’. Teori-teori konflik, pada sisi lain, dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat sebagai sistem yang kompleks yang ditandai dengan adanya ketidaksetaraan dan konflik yang mendorong terjadinya perubahan sosial.’ Lain lagi dengan teori interaksionisme simbolik”
, lain lagi, yang dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat adalah sebuah produk dari interaksi sehari-hari dari para individu di dalamnya.
Masalah yang sering kali dihadapi sosiolog adalah ketidakmampuan untuk menyadari asumsi-asumsi yang terkandung dalam perumusan teori-teori mereka.
Karena itu muncul perdebatan pula, jika teori sosiologi dibangun atas asumsi maka apakah sosiologi adalah ilmu yang bebas nilai dan, bahkan, netral? Ini adalah pertanyaan etik yang mendasar dalam membangun sebuah teori sosiologi.
Keyakinan terbaru (kita berbicara tentang asumsi lagi) adalah ilmu tidak pernah bebas nilai. Pernyataan sosiologi yang bebas nilai (value free) sudah banyak dipertanyakan. Jawaban yang paling sering keluar adalah ilmu (termasuk) sosiologi tidak pernah bebas nilai. Sebuah catatan penting dilontarkan Jurgen Habermas. Habermas (1990) membagi ilmu pengetahuan dalam tiga kepentingan. Yaitu, (1) kepentingan teknis; (2) kepentingan praktis; dan (3) kepentingan emansipatoris.
Habermas pun menempatkan ilmu sosial (sosiologi) dalam ranah ilmu yang memiliki kepentingan (dan kemampuan) emansipatoris. Rasanya, ini perlu kita jadikan landasan etis bagi kita dalam melihat masyarakat dan kemudian membangun teori-teori sosiologi. Pesan yang dapat ditangkap dari pemikiran Habermas adalah ‘sosiologi kritis tidak hanya berperan dalam menjelaskan dan memaknai masyarakat, tapi juga memperbaiki masyarakat.’ Dewasa ini, semakin banyak sosiolog yang menyadari bahwa berbagai teori tentang masyarakat tidak dapat dengan mudah digabungkan ke dalam suatu teori tunggal. Apalagi dengan berkembangnya pandangan-pandangan mikro yang mengakui pentingnya konsep manusia dan masyarakat di setiap tempat sebagai kerangka acuan (atau asumsi dasar) untuk membangun teori sosiologi.
Konsep memilih jodoh, misalnya, tidak semudah yang kita bayangkan. Upacara perkawinan bukan lagi masalah melegalkan sebuah hubungan seks antara sepasang manusia, melainkan menjadi suatu masalah kompleks tentang masalah status sosial, prestise, kelas sosial, ekonomi, dan masih banyak variabel yang bisa mempengaruhi teori tentang memilih jodoh.
Teori sosiologi modern
Teori sosiologi berkembang karena terjadinya perubahan sosial yang sangat pesat dalam masyarakat dan dalam ilmu itu sendiri. Pendekatan-pendekatan tertentu, mulai dari fungsionalisme sampai strukturalisme, telah banyak dikritik karena tidak memperhitungkan perubahan.
Thomas Kuhn mengatakan salah satu perkembangan teori adalah akibat perbedaan paradigma. Kemudian, teori berkembang karena ilmuwan melihat pada objek yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Ide Kuhn ini jelas menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum, sebelum Kuhn, ilmuwan berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu itu terjadi secara kumulatif. Hal ini ditentang oleh Kuhn, yang menyebutkan, perkembangan ilmu pengetahuan sebenarnya terjadi secara revolutif. Yaitu dengan mengubah cara pandang ilmuwan dalam memaknai suatu fakta. Namun, Kuhn tetap meyakini adanya suatu hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum, yang biasa disebut exemplar. Dalam bahasa matematika kita sering mendengarnya dengan istilah tautologi.
Contoh yang paling dasar adalah “segitiga” berarti ‘sebuah bangun dengan tiga sisi dan tiga sudut.’ Melihat kecenderungan yang disampaikan oleh Kuhn itu, maka ada kemungkinan bahwa dalam sosiologi terdapat beberapa paradigma. Yang sangat mungkin, satu dengan yang lain, saling bertolakbelakang. Beberapa pandangan tentang pembagian teori sosiologi pun bermunculan. Cotton (1966) membahas sosiologi ‘naturalistis’ dan ‘animistis’. Giddens (1967) membuat pembedaan sosiologi ‘interpretatif’ dan ‘positivistis’. Martindale (1974) membagi sosiologi ‘scientific’ dan ‘humanistis.’
Tentu kita belum saatnya untuk terlibat dalam perdebatan tentang dikotomi teori sosiologi tersebut. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika kita mulai mengenal dikotomi dalam sosiologi itu. Kita bisa memulai dengan menggunakan klasifikasi teori sosiologi menurut skalanya. Yaitu, grand theory, middle range theory, micro range theory.
Hubungan sosiologi modern dengan modernisasi
Teori sosiologi modern sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terus terjadi dalam masyarakat. Setidaknya ada tiga variabel perubahan sosial yang bisa dijadikan titik tolak bagi perubahan teori sosiologi itu. Yaitu: (1) bumi yang semakin padat akibat manusia yang terus bertambah. Semakin banyak manusia, semakin kompleks pula interaksi sosial dan masalah sosial yang terjadi; (2) inovasi teknologi yang belum berhenti. Hubungan antara manusia dengan teknologi membutuhkan hal yang cukup kompleks ketika harus berhadapan dengan tingkat ekonomi, pendidikan dan geografis. Inovasi teknologi justru membuat kesenjangan sosial yang tidak bisa disepelekan; (3) perubahan iklim politik ilmu pengetahuan yang menyebabkan semakin tidak jelasnya sekat antar-ilmu.


Silahkan Tinggalkan Komentar Dengan Akun Facebook Anda Di Kolom Bawah Ini


0 komentar:

Site Info


Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Add to netvibes


Subscribe in Bloglines